Setiap bayi yang baru dilahirkan akan diberi kepemilikan pertama, yakni nama diri (antroponim). Hal yang telah membedakannya dengan bayi lain, juga merupakan tanda waris keluarga melalui pemberian orangtuanya. Properti kedua yang melekat padanya adalah nama tempat kelahiran (toponim), sebagai identitas untuk perihal administrasi misalnya. Kedua nama dan kepemilikan inilah yang akan selalu digunakan dan tercatat mewakili individu, seperti pepatah mengatakan, manusia dapat kehilangan harta, status bahkan nyawa tetapi nama diri dan nama tempat lahirnya selalu abadi.
Tujuan penamaan yang bisa sebagai tanda kepemilikan, juga merupakan acuan melalui pendataan unsur topografi. Pengetahuan penamaan geografis ini disebut toponimi (topos–nym), yakni ilmu yang mengkaji masalah penamaan unsur topografi buatan maupun alamiah termasuk pembakuan tulisan, pengucapan (fonetik), sejarah, dan hubungan antara nama dengan sumber daya pada sebuah unsur geografis. Toponimi merupakan ilmu terapan terpadu yang melibatkan disiplin geografi, geodesi, geofisik, linguistik, antropologi, sejarah dan hukum. Selanjutnya keseluruhan kajian toponimi akan menghasilkan daftar nama geografi atau gasetir (gazetteer). Salah satu daftar gasetir adalah pulau, sebagai sumber daya wilayah yang dioptimalkan untuk pembangunan ekonomi, ekologi, sosial budaya, serta keamanan (batas kelola administratif maupun kedaulatan).
Perlu ditekankan, meski aspek toponim tidak berkaitan dengan “kepemilikan" pulau atau hak pengelolaan (sovereign right) maupun hak kedaulatan (sovereignty), namun data toponim menjadi rekomendasi kebijakan pengelolaan pesisir dan pulau. Adapun definisi pulau harus mengacu ketentuan pasal 121 Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982, yakni: “Pulau adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi air, dan ada di atas permukaan air saat pasang". Sementara definisi pulau-pulau kecil adalah: “Kumpulan pulau dengan luas kurang dari 2.000 Km2 atau lebar kurang dari 10 Km beserta kesatuan ekosistem di sekitarnya yang terpisah dari pulau induk” menurut Perda No. 4 / 2009 tentang PWP3K Kalbar, merujuk UU 27 / 2007. Serta definisi pulau kecil terluar adalah: “Pulau dengan luas kurang atau sama dengan 2000 km2 yang memiliki titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional”, menurut Perpres 78 / 2005. Sekaligus penegasan bahwa di wilayah Kalbar tidak terdapat pulau terluar (outermost island).
Selanjutnya merujuk standard internasional juga pedoman survei toponim kepulauan di Indonesia, ada 4 kaidah kegiatan menurut United Nations Conference on the Standardization of Geographical Names (UNCSGN) No.4 Tahun 1967. Pertama, nama pulau hanya dapat diberikan oleh penduduk setempat, minimal 3 orang yang diakui memahami sejarah pulau tersebut. Kedua, catatan posisi geografis, luasan, dan wilayah administrasi pulau. Ketiga, ucapan lokal (fonetik) nama pulau direkam (audio recording) dan penulisan nama dikonsultasikan dengan masyarakat setempat. Dan keempat, hasil survei secara keseluruhan disampaikan kepada pemerintah dan masyarakat setempat untuk mendapatkan persetujuan. Kaidah ini telah mensyaratkan kegiatan berupa survei lapangan (field study) sekaligus melibatkan penduduk setempat dan menghargai kearifan lokal.
Kegiatan survei toponim nasional dimulai saat Kementerian Kelautan dan Perikanan menerbitkan Panduan Survei Toponim Pulau-Pulau di Indonesia pada hari Nusantara 13 Desember 2003 sekaligus amanat UU 32 / 2004. Pelaksanaannya dilakukan oleh setiap pemerintah daerah dengan bimbingan teknis dari pusat meliputi Kemendagri, KKP, Bakosurtanal, Dishidros TNI-AL, dan Pusat Geologi Kelautan, sebagai tim verifikasi menurut Perpres 112 / 2006. Melalui Rapat Pembinaan dan Pembakuan Nama Pulau di Wilayah Provinsi Kalimantan Barat pada 28 Juni 2008 di Pontianak, telah ditandatangani Berita Acara Verifikasi Penamaan Pulau. Acara dipimpin oleh Asisten Pemerintahan dan Hukum Setda Prov. Kalbar serta dihadiri unsur Pemprov dan Kabupaten / Kota berikut para Camat dan Kepala Desa yang memiliki pulau di wilayahnya, serta Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi.
Berita acara verifikasi toponim wilayah Kalbar telah mengidentifikasi dan membakukan nama sejumlah 217 pulau, dengan catatan permasalahan administrasi yang harus diselesaikan di tingkat provinsi maupun pusat. Yakni Pemerintah Provinsi Kalbar perlu mengklarifikasi keberadaan 5 pulau antara Kab. Kubu Raya dan Kab. Kayong Utara, sementara Pemerintah Pusat siap mengklarifikasi 2 pulau antara Prov. Kalbar dengan Prov. Kepulauan Riau serta 3 pulau antara Prov. Kalbar dengan Prov. Kalteng. Maka melalui data utama survei toponim pulau, dapat berperan untuk: (1) Tertib administrasi wilayah; (2) Acuan referensi serta nara sumber bagi media massa; (3) Data rencana penataan ruang; (4) Tindakan mitigasi.
Adapun rekapitulasi jumlah pulau di Kalbar, terbagi dua kelompok wilayah. Yakni pada tujuh kabupaten / kota pesisir: Sambas (6), Bengkayang (12), Singkawang (1), Pontianak (9), Kubu Raya (39), Kayong Utara (97), dan Ketapang (41), berjumlah 205 pulau. Selanjutnya pulau kriteria pedalaman (di sungai, danau): Kota Pontianak (1) dan Kabupaten Sanggau (6), berjumlah 7 pulau. Agak mengherankan bahwa Kabupaten Kapuas Hulu tidak terdapat, setidaknya, keberadaan pulau Melayu di danau Sentarum yang harus dikonfirmasi kepada pejabat Kasubdit Toponimi dan Pemetaan Kemendagri maupun Kasubdit Identifikasi Potensi Pulau-pulau Kecil KKP Pusat melalui Biro Pemerintahan Provinsi Kalimantan Barat.
Selain demi identifikasi maupun kepentingan program pembangunan daerah, pihak kabupaten / kota dapat melakukan koordinasi dengan Pemprov Kalbar untuk klarifikasi. Karena data survey toponim pulau, secara strategis dapat digunakan untuk: (1) Potensi kelola sebuah pulau; (2) Jaringan pemasaran hasil kelautan maupun budidaya perikanan; (3) Antisipasi gejolak sosial budaya; (4) Antisipasi kriminal di perairan dan pulau; (5) Pola pemberdayaan masyarakat pesisir maupun (pulau) pedalaman; (6) Pengelolaan pulau di suatu kawasan tertentu.(*)
[Dimuat di Pontianak Post, Rabu, 15 Juli 2009]