Follow me on Twitter RSS FEED
Tampilkan postingan dengan label arsitektural. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label arsitektural. Tampilkan semua postingan

IAI Mantapkan Pranata Keprofesian

PONTIANAK - Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Kalbar bertekad memantapkan pranata keprofesian dan terus berusaha menyempurnakan peraturan dan pranata keprofesian dengan seluruh semangat untuk ikut berperan secara aktif dalam pembangunan daerah bersama-sama pihak pemerintah. Selain itu, secara insidentil, tetap memberikan masukan dan gagasan-gagasan kepada pemerintah kota (Pemkot) dan kabupaten dalam mengatasi berbagai masalah penatan dan perencanaan.

"Hal ini merupakan salah satu program kerja sesuai hasil rumusan Rakerda IAI Kalbar, yang berlangsung Sabtu (4/3) di Pontianak," jelas Ketua IAI Kalbar, Ir Edi Rusdi Kamtono IAI kepada AP Post, Rabu (7/3). Diungkapkan, dalam Rakerda, IAI akan mensosialisasikan UU Jasa Konstruksi (UUJK) Nomor 18 Tahun 1999 mengenai Jasa Konstruksi dan PP Nomor 28, 29 dan 30 Tahun 2000 kepada pemkot dan kabupaten, untuk mendorong penerbitan perda. "Yang penting lagi, perlu dimasyaratkan penggunaan tenaga arsitek, terutama yang sudah mempunyai sertifikat asosiasi, melalui mekanisme IMB, untuk melindungi hak-hak dan kepentingan anggota IAI," ujarnya.

Menurut Edi, sejak diberlakukannya UUJK Nomor 18/1999 dan PP Nomor 28, 28 dan 30 Tahun 2000, IAI Kalbar akan segera melakukan audiensi dengan pihak Pemkot/Kabupaten serta mensosialisaskannya melalui media dan DPRD. Untuk itu, tentunya IAI Kalbar perlu mempersiapkan diri dengan meningkatkan profesialisme, kemampuan diri dan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki untuk dapat secara sejajar diakui dan diterima keberadaannya, baik di lingkungan lokal, regional, nasional dan internasional. Berkaitan itu, dalam Rakerda tersebut ada tujuh anggota IAI Kalbar yang dikatagorikan profesional dan berhak menyandang IAI dibelakang namanya. Ketujuh anggotanya itu adalah Ir. Veronica IAI, Ir. Anna Widjajanti IAI, Ir. Pedi Natasuwarna IAI, Ir. Yusran A Rasyid BE IAI, Ir. Otong Suharma IAI, Ir. Dionisius Endy V IAI, dan Ir. Y Trisna Ibrahim IAI. (mzr)

Pontianak Post, Kamis 8 Maret 2001

Read more...

Tata Ruang Ala Burlesque

Posted in
Show a little more, show a little less
Add a little spark, welcome to Burlesque
Everything you dream of, but never
can possess, nothing what it seems
Welcome to Burlesque ..
Selamat datang di dunia artifisial nan gempita, menutupi aroma remang pentas yg pengap didekap intrik dan saling sikut. Inilah sepetak pertunjukkan dgn lampu sorot mengarah kepada citra yg diinginkan para pengunjung, mereka membayar untuk melarikan diri dari sumpeknya kehidupan nyata. Burlesque merupakan salah satu pelepas dahaga paripurna dan teramat menggetarkan sesuai sejarahnya sendiri. Berawal dari Burla yakni istilah Spanyol yg bermakna Jest (senda gurau, pertunjukkan badut, ingat epic Script For a Jester's Tear milik band Marillion), lalu menjadi parody di Italia berupa Burlesca. Kemudian budaya Prancis menegaskannya sbg pertunjukkan ala satire lewat tarian dan musikal dalam menutupi kepahitan hidup, sementara di Inggris pada abad 19 lebih menggunakannya sbg karikatur kehidupan entah menyentil politik maupun hukum lewat istilah Travesty. Perpaduan yg telah memperkaya dunia pertunjukkan serius sbg kemasan yg detail dan penuh disiplin, terutama ciri yg menampilkan keindahan pentas lewat sosok khas para wanitanya.
Faktor wanita pula yg kemudian membawa Burlesque menyeberang ke daratan Amerika awal abad 20, namun identik lewat eksploitasi fisik. Kemungkinan ada peran dari para mafia underground yg identik dgn gangster dan alcohol di era Al Capone terutama perdagangan wanita. Perkembangan Burlesque memuncak sekaligus membuat varian baru seperti pertunjukkan cabaret atau penari chan-chan, serta yg lebih vulgar yakni striptease. Maka ketika dunia ini telah ditayangkan melalui pita seluloid pada layar lebar, merupakan kompromi antara nafas Burlesque klasik dgn selera kontemporer bercampur racikan scenario ala Cinderela modern. Disitu masih dominan tari dan nyanyi dalam tehnologi lip-sync, tata sorot gemerlap maupun limelight yg menegaskan lekuk tubuh berbalur kostum bukan untuk dikenakan ke kantor. Tema pertunjukkan gak lagi penting melainkan bergeser ke setting dunia nyata yg bergumul sengit di belakang pentas lewat karakter pemerannya. Sebagai pokok kisah adalah sang pemilik Burlesque Lounge yg resah mempertahankan panggungnya di belantara kerakusan dunia properties modern, topic yg selalu relevan dari sejenis The Young Ones (Cliff Richard) hingga sekuel Sister Act (Whoopi Goldberg). Sementara Cinderela sang juru selamat modern namun tetap memilih pakem klasik yg datang dari udik ala Satria Bergitar, akan membereskan segala persoalan sembari terus bernyanyi.
Tulisan ini bukanlah bermaksud nyinyir untuk mengomentari perkara lipstick dan lip-sync, juga gak ikutan membandingkan Burlesque dgn Grease yg telah mewakili generasinya, harus membedah intrik ala Chicago, maupun adu glamour dibalik chemestri kepedihan Moulin Rouge. Apalagi menakar kualitas Cher dgn Christina Aguilera sang "a small-town girl with a big voice", toh kebetulan keduanya bukan favoritku. Namun tak dapat dipungkiri jika keduanya adalah nafas utama film yg sanggup menekan posisi dudukku di bioskop selama nyaris dua jam. Steve Antin, sang sutradara yg lebih dikenal sbg penggarap video klip musik berhasil membuat beberapa sajian lagu utuh menjadi bagian dari film yg gagal membosankan. Konon ia meramu ide film berdasarkan klub Burlesque nyata di Los Angeles yg terus berjuang mentas, serta didukung kisah Robin Antin saudaranya yg pernah mengorbitkan kelompok Pussycat Dolls. Bukan kebetulan jika Pussycat Dolls telah identik dgn rombongan wanita neo-Burlesque melaui kostum glamour sembari fasih menari (salah satu anggotanya menjadi juri "So You Think You Can Dance"), serta nyata jago berolah vocal. Maka untuk mendukung Cher dan Christine yg memang dominan berlakon penyanyi, film ini menampilkan pula mantan juara "Dancing With the Stars" yakni Julianne Hough. Serta peran yg mencuri perhatianku adalah tampilan Stanley Tucci mewakili figur gay. Pertama, aku selalu tertukar kenangan antara Stanley Tucci dgn aktor Curtis Armstrong terutama di film Ray yg memerankan Ahmet Ertegun sang pemilik Atlantic Record. Salah satu dialog berkesan adalah saat Ray Charles pertama berkenalan dgn Ahmet sembari menyebutkan namanya. "Omelet? What kinda name is that?" celetuk Ray. Kedua, peran Stanley mewakili gay seolah mengingatkan pada film berlatar serupa yakni Bird Cage (Robin Williams). Hal yg boleh menguatkan bahwa Burlesque juga identik dgn ekspose kalangan para feminim, termasuk pria yg lebih memilih sbg feminism ;o)

Burlesque sbg presentatif pentas sandiwara glamour sekaligus sexy, sejatinya pula menampilkan dunia panggung kehidupan yg kompleks meminjam lirik Taufik Ismail yg pernah dipopulerkan Ahmad Albar. Jatuh bangun Christina Aguilera yg antara lain sudah pernah diinterpretasi Julia Robert lewat Pretty Woman, intrik sabotase yg malah mengorbitkan, terutama introspeksi Cher saat memulihkan semangat di ujung kebangkrutan. Diane Warren sengaja menuliskan lagu You Haven't Seen the Last of Me untuk Cher, menjadi salah satu spirit utama Burlesque yg setara dgn Out Here of My Own milik Irene Cara untuk film Fame. Saat lampu sorot terfokus pada satu objek tanpa bergerak selain merintih di ruang kosong, selalu sanggup berdampak menggetarkan. "Lebih bagusan yg ini ketimbang penyanyi utama yg muda, sapa sih penyanyinya?", tanya rekan di bangku sebelah. "Jelas lebih matang dong, ni nenek udah 65an taon umurnya", sahutku rada terganggu. Seolah lewat tekad You Haven't Seen the Last of Me, "Kau masih belum melihat upayaku hingga akhir", malah menjadi inti drama pada skenario yg umumnya berujung klise.
I've been brought down to my knees
And I've been pushed way past the point of breaking
But I can take it, I'll be back .. Back on my feet
This is far from over, I am far from over
You haven't seen the last of me ..
Salah satu faktor pembeda versiku dalam menyelesaikan masalah Burlesque dari tema musikal lain, adalah ide hak pengelolaan ruang. Melalui intrik pengalihan properties berbalur asmara maupun bujukan uang adalah hal jamak, namun saat tampil lewat film ini cukup di luar dugaan termasuk brilian. Semoga bukan cuma aku yg memperhatikan terutama saat kondisi pekerjaan sedang trend dgn isu tata ruang UU 26/2007 maupun zonasi UU 27/2007 termasuk akses bagi hak ulayat melalui UU 41/1999 hingga aspek ekoregion masyarakat lokal pada UU 32/2009. Jika selama ini ada kelakar internal pelaku spasial berupa, "Darat, hutan, dan di bawah tanah sudah dikapling, lalu laut bakal dipagarin, tinggal udara menyusul perundangannya". Maka pada film Burlesque mengadopsi hak kelola tata ruang udara sekaligus hak akses di atas bangunan tertentu, terutama untuk menahan pertumbuhan vertikalnya yg dapat menutupi ruang atau pandangan dari bangunan lain. Artinya hak kelola dan akses tersebut dapat dibayar menjadi hak kompensasi dalam jangka waktu tertentu, sebetulnya telah dikenal dalam tata krama Arsitektur yg disebut Rasio Lantai Bangunan (Floor Area Ratio) berbanding Koefesien Dasar Bangunan. Aturan ini perlu ditetapkan sbg kontrol terhadap laju vertikal pada high rise building, seperti yg telah terjadi di New York bahkan Gotham City misalnya. Banyak kawasan terutama jalan umum yg tidak lagi bisa mendapatkan sinar matahari langsung dikarenakan ketinggian serta rapatnya posisi skyscrapers begitu menutupi langit.
Salah satu rekayasa kondisi maupun eksplorasi yg membuat manusia semakin kehilangan akses mendasar terhadap sumber alam, menjadi prilaku artificial conditional bahkan ter-alienasi pada kodrat sesamanya. Mungkin itulah gunanya pentas sandiwara semacam Burlesque yg selalu relevan mengalihkan perhatian dari esensi berkehidupan. Sekaligus melalui Burlesque masih diberikan jeda untuk boleh berteriak menggugat walau luput dari sorotan lampu utama, berdaya terobos melalui spirit semacam You Haven't Seen the Last of Me.
I'm not going nowhere, I'm staying right here
You won't see me begging, I'm not taking my bow
Can't stop me .. It's not the end
You Haven't Seen the Last of Me

-duke-

Read more...

Murder By Numbers

Once that you've decided on a killing
First you make a stone of your heart, and
if you find that your hands are still willing

Then you can turn a murder .. into art
Dunia tanpa nomor, tanpa angka-angka? Tanpa pengetahuan akan simbol terukur, kehidupan steril dari sistem bilangan. Pasti repot buat menetapkan waktu entah jam pulang kantor, tanggal gajian. Gak dikenal konversi nilai nominal duit selain barter, maupun membedakan bobot tubuh yg disebut skala kurus ato gemuk. Maen badminton terancam gak bakal selesai dgn skor berapa kecuali ada pemain yg tumbang, bahkan gak dikenal formasi pemain single ato bermain ganda berpasangan. Entah apa jadinya pola kehidupan dunia maupun perkembangan budaya kini, jika faktor angka yg teramat vital namun seandainya gak pernah dikenal manusia.
Selain faktor kegunaannya secara praktis, angka bisa dianggap misterius lantaran gak berwujud ato dapat dirasakan secara inderawi. Benda yg disebut 'apel' bisa dicirikan dari bentuknya, warna ato rasa serta dapat disepakati memang berbeda dgn duren misalnya. Tapi ketika disebutkan terdapat 'tiga buah apel' lalu ada 'tiga duren', tetap bukan menjelaskan mengenai wujud dua jenis buah berikut kumpulan angka yg nangkring di sampingnya. Selain telah terjadi kondisi untuk mewakili fakta berupa sekumpulan buah (lebih dari tunggal), juga memberikan sebuah kesepakatan yg membedakan 'satu apel' dgn 'satu keranjang apel'. Begitupun ketiga 'tiga duren' dgn 'duren tiga', yg satu menjelaskan mengenai kumpulan buah duren sejumlah tiga (countables) sementara 'duren tiga' lebih kepada merek korek api tertentu dan mewakili nominal tak berwujud (uncountables).

Maka demikian, angka sanggup memiliki fakta khusus yang mewakili aktualisasi sebuah pemikiran nyata (kuantitatif) maupun abstrak (kualitatif). Skala dan statistik merupakan hal terukur secara angka kuantitas, sementara berapa dalam kadar cintamu adalah skala tak terukur. Jadi jangan mau dikibulin dgn gombal "cintaku sedalam lautan", karena gak komparatif pasti nipu. Sejak Pythagoras, (filsuf, matematikawan Yunani abad 6 SM) telah mengajarkan tentang segala hal dapat dijabarkan liwat angka, maka bernalar adalah perhitungan atas segenap fenomena alam dan peristiwanya yg seharusnya genap. Selain konsep ini mengembangkan ilmu eksakta yg terukur, angka juga dianggap bisa mewakili interpretasi abstrak seperti tafsir, meramal atau menterjemahkan 'pesan alam' lewat sistem numerologi yg disebut 'Gematria'.
Bentuk Gematria adalah "each letter of an alphabet corresponds to a number", sehingga bisa menjadi angka atau huruf. Serta pengertiannya bisa bermakna "numerical values of words are totaled up and then these words are said to correspond with other words sharing the same numerical value", atau simbol bilangan yg telah dinyatakan dalam huruf dgn nilai yg sama atau relevan. Gematria diyakini muncul pada kerajaan Babylonia era Raja Sargon II (abad 8 Sebelum Masehi) untuk perhitungan pembangunan tembok Khorsabad berukuran tepat 16,283 satuan hasta. Aplikasi gematria ini yg kelak dikenal dgn 'jurus geometri', secara harafiah diterjemahkan sbg 'ilmu pengukuran tentang bumi' atau prinsip dan dimensi bangunan yg kini menjadi cabang ilmu matematika. Selanjutnya gematria lebih dikembangkan melalui sejarah budaya Yahudi dan Romawi, Arab hingga India bahkan ke China.
Gematria sbg sistem untuk menghitung nilai numerik ke dalam kata atau frase dgn keyakinan bahwa kata atau frasa dgn numerik tertentu, adalah identik atau memiliki makna dan pesan yg berkaitan dgn angka tertentu. Misalnya angka empat dalam tradisi oriental, China melafalkan 'Si' (Se) sama dgn Jepang yg melafalkan 'Shi' dan keduanya memiliki kesamaan lafal dgn makna kematian. Jika angka empat dikonversi ke alfabet yakni 'D', mungkin dianggap sbg awalan Die. Sementara secara numerik, 4 = 1 + 3 dimana 13 adalah angka sial bagi kebanyakan orang dari tradisi bule, sekaligus angka favorit buat judul film horor. Bahkan terdapat ketakutan irasional tersendiri bagi mereka yg phobia dgn segala sesuatu yg mengandung angka 13, istilah mediknya Triskaidekafobia. Misalnya banyak rumah yg menolak memakai nomor alamat 13, hotel tanpa lantai 4, entah karena phobia atau pamali.
Angka melalui gematria ternyata gak hanya mempersoalkan perkara nilai ukur, tapi telah mengandung makna khusus dan anehnya berlaku umum. Maka selain urusan kesialan, juga ada nomor favorit seperti angka 8 yg sering bikin pusing pihak DLLAJR untuk permintaan nomor plat kendaraannya. Konon 8 mewakili simbol angka dinamis tak terputus, infinite, memiliki lafal 'Ba' yg senada dgn Fa (kemakmuran). Berikut adalah beberapa contoh gematria, untuk versi Yahudi adalah: Aleph=1, Bet=2, Gimel=3, Dalet=4, He=5, Vav=6, Zayin=7, Heth=8, Thet=9, Yodh=10, Kaph=20, Lamed=30, Mem=40, Nun=50, Samekh=60, Ayin=70, Pe=80, Thadi=90, Qoph=100, Resh=200, dst. Gematria versi Arab: Alif=1, Ba=2, Jim=3, Dal=4, Ha(*)=5, Waw=6, Zay=7, ha(#)=8, Tha=9 Ya=10, Kef=20, Lam=30, Mim=40, Nun=50, Sin=60, 'Ain=70, Fa=80, Shad=90, Qaf=100, Ra=200, dst. Sementara gematria versi Romawi yg juga dipakai secara Internasional: I=1, II = 2, V=5, X=10, L=50, C=100, D=500, M=1000.

Selanjutnya masih perihal angka mengalami perkembangan yg disebut sistem desimal yg konon dikembangkan oleh pemikir dari Arab bernama Al Khwarizmi (790 - 850), selanjutnya menjadi dasar ilmu hitung disebut Aljabar. Namun peran angka desinal juga sanggup mengalami 'pelecehan' yg dikutak-katik sbg kode kunci, demi tujuan dan makna khusus. Salah satu penerapan ilmu guthak-gathuk, misalnya:
Serangan pesawat ke menara WTC tanggal 11 September 2001 = 11 - 9 - 2001.
Tanggal 11 bulan 9 = 1 + 1 + 9 = 1 dan 1 (twin tower). Pesawat terbang pertama
yg menghantam Tower Selatan berjumlah penumpang 92 orang = 9 + 2 = 1 dan 1.

Kemudian hantaman pesawat kedua berpenumpang 65 orang = 6 + 5 = 1 dan 1.
Tempat kejadiannya di kota New York = n e w y o r k c i t y = 11 huruf.
Peristiwa heboh yg juga konon mengundang minat para pakar angka, mereka sanggup menganalisa berdasarkan tafsir Nostradamus segala serta penggenapan atas ramalan tertentu. Mereka inilah yg dapat disebut sbg 'pemegang kunci angka' dan menggunakan sistem numerik untuk menyibak sekaligus membaca menurut karakter angka yg disebut Numerologi. Seorang numerolog dapat menetapkan 'angka kunci' pada seseorang, berdasarkan jumlah angka dari nama atau tanggal kelahiran yg ditakdirkan sbg nilai kepribadian, ciri bahkan nasib kehidupnya. Berbicara soal tanggal, diketahui ada banyak sistem kalender di belahan bumi ini dan masih tetap digunakan secara umum maupun khusus. Contoh untuk sistem kalender Masehi (Gregorian), adalah yg kita gunakan sekarang seperti untuk peristiwa WTC 11 September 2001. Sementara sistem kalender Hijriah untuk menetapkan saat yg sama dgn peristiwa WTC, 22 Jumada II 1422. Menurut sistem kalender China adalah pada Hari 24 Bulan 7 Tahun 18 Siklus ke 78. Sementara sistem Julian menyebutnya peristiwa 29 Agustus 2001, sedangkan penanggalan Ibrani adalah tercatat 23 Elul 5761.
Terlepas dari pendekatan budaya setempat berikut sistem (misalnya Hong Shui/Feng Shui dlm tradisi Cina berdasarkan kalendar bulan), patut dipertimbangkan adanya faktor Ambigu yakni keputusan ramalan melalui sifat bahasa yg terbuka. Tidak ada kepastian mutlak, namun masih berlaku beberapa kemungkinan dan pilihan yg relevan. Maka salah satu penerapan unsur numerolog yg biasa ditambahkan adalah "faktor sugesti" (keyakinan, ketaatan) sehingga dapat berjalan mulus dan everybody happy. Maka pendekatan numerologi bisa dianggap sbg seni dalam pemahaman yg terkait angka, mirip gematria, berikut berbagai kombinasi 'kurangi-tambahi' demi makna dan tujuan tertentu. Dalam pendekatan matematika, tentu keahlian tersebut kurang dianggap relevan. Namun prakteknya dapat memperkaya kepentingan non eksakta dan sering diterapkan di dunia perdagangan, arsitektural, aspek transportasi, bahkan prediksi hasil pertandingan bola, tanggal menikah, dst.
Jika angka telah dijumlahkan kepada urusan yg justru gak akurat, seperti primbon jumlah huruf nama, menghitung angka jodoh, tebak skor bola dgn tidur di kuburan, serta segala rupa terkait angka magis, kok rasanya kayak maksa kerjaan gak perlu yah. Bahwa setiap unsur kehidupan memang mempunyai tata cara dan sifatnya, serta ada yg wajib di hitung maupun diprediksi. Maka angka bisa dijadikan simbolis maupun perantaranya dalam menterjemahkan sebuah fenomena. Bahkan terkadang ada anugerah dibalik peristiwa diluar dugaan, yg melawan hukum formal serta perhitungan logika. Pertimbangan ini seolah mengingatkan bahwa kehidupan penuh dgn kejutan dan gak selamanya mengandalkan presisi angka yg cenderung 'pseudo-sains' (segalanya harus sains). Jadi, nikmati saja kehidupan termasuk menggunakan angka. Bukan sebaliknya, digunakan oleh angka. Jangan keliwat perhitungan deh. Walau kadang bikin kesel, secara matematis tanggal satu adalah saat terima gaji. Eh ternyata seringkali jatuhnya hari sabtu dan minggu, melesetlah hari jadwal belanja itu bagi yg menggunakan sistem manual. (*)

Read more...