Sekilas berbicara mengenai penawaran listrik antar negara, Indonesia telah menyepakati Memorandum Saling Pengertian mengenai Jaringan Transmisi Tenaga Listrik ASEAN (Memorandum of Understanding on the ASEAN Power Grid) sbg hasil perundingan delegasi negara ASEAN di Singapura tgl 23 Agustus 2007. Serta Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2008 Tentang Pengesahan MoU ASEAN Power Grid dimaksud. Ditindaklanjuti dgn penerapan sistem interkoneksi lintas negara ASEAN, berupa rekomendasi 4 proyek yg akan dikembangkan bahkan telah dilaksanakan yakni pada: a) Sumatera (RI) dgn Penisular (Malaysia); b) Sumatera dgn Singapura; c) Batam dgn Singapura; dan, d) Kalimantan Barat dgn Sabah/Sarawak (Malaysia) yg telah membeli listrik dari Sarawak Energy sebesar 200 kVA untuk Sajingan Sambas, 400 kVA untuk Badau Kapuas Hulu. Jadi rada jelas buntutnya, melalui MoU telah berjalan transaksi jual beli listrik antar negara. Namun yg perlu dikritisi lanjut, kelihatannya lebih sepihak berbunyi Indonesia yg beli listrik sementara negara tetangga sbg penjual. Indonesia tengah disetrum.
Mungkin akan lebih menarik, kenapa dan bagaimana para negara tetangga yg relatif sama berkembang namun sanggup tampil sbg produsen energi? Apakah mereka lebih maju atau memiliki sumber pembangkit energi lebih berlimpah? Terutama negara bagian Sarawak yg nota bene gak jauh berbeda dgn kondisi alam Kalbar yg justru memiliki cadangan Batubara hingga Uranium berlimpah? Sarawak malah telah membuat Penataan Ruang yg siap menuju negara industri melalui dukungan sumber energi mandiri, berbeda dgn draft RTRW Kalbar yg masih saja berkutat dgn status lahan terutama mengakomodir pengembangan monokultur (kelapa sawit) untuk jangka 20 tahun ke depan. Belum lagi masalah penetapan lahan konservasi dgn jargon Green Economic Development versus status lahan adat berikut keberlangsungan komunitasnya. Isu ini dapat merembet kepada sebuah kawasan khusus yg disebut Jantung Kalimantan atau Heart of Borneo, yg telah melibatkan 3 negara di Kalimantan dalam sebuah konsensus trilateral bersama. Apa saja urusannya?
Kembali kepada mega proyek di Sarawak terkait penyediaan energi listrik. Mereka coba melakukan pertimbangan ekonomis untuk membuat kompleks industri terpadu berikut pasokan energi alternatif dari sungai (renewable sources), dianggap pilihan termurah dan potensial. Faktor eksisting sungai besar yg saling terhubung, relatif gak pernah kering dan 'masih perawan' adalah keuntungan utama. Walau terdapat resiko yg teramat massive dan sistemik, seperti deforestrasi, peralihan fungsi lahan, penggusuran penduduk asli berikut budayanya, berupa eksploitasi terhadap sumberdaya alam di Sarawak. Lebih celakanya, sumber muara beberapa sungai2 itu berawal dari pegunungan Muller yg juga menara mata air bagi kelestarian tiga sungai utama Kalimantan di Indonesia, yakni hulu sungai Kapuas (Kalbar), Barito (Kalteng) dan Mahakam (Kaltim). Itulah jantungnya Kalimantan yg menghidupi seluruh pulau berikut ekosistem terutama manusianya, serta ditambah embel2 paru-paru dunia yg dgn indah disebut Heart of Borneo. Padahal jika dikatakan telah menjadi komitment bersama melalui kerja sama trilateral berbasis konservasi dan berkelanjutan (sustainable development), dimana relevansi berikut konsekwensinya?
"Anda pasti gak bisa tidur nyenyak lagi melihat rencana ini, serta harus mengoptimalkan forum dunia seperti Heart of Borneo. What do you say then?", tantang Heinz. Gw merinding juga sembari menerima printed out tentang berita dimaksud, dari Heinz yg juga mewakili program GTZ (German Technical Cooperation). Saat ini melalui forum HoB Indonesia, pemerintah sedang mengolah tata ruang Kawasan Strategi Nasional (KSN - PP. 26/2008) terkait penetapan kawasan HoB di area tiga Provinsi Kalimantan menuju forum tehnis BKTRN (Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional - turunan UU. 26/2007). Hasil tehnisnya merupakan salah satu rekomendasi yg akan dibawa ke forum Trilateral IV HoB di Brunei, khususnya dalam konteks Perencanaan Tata Ruang Pulau Borneo untuk 3 Negara. Kesepemahaman dan kesepakatan bersama perlu didapat dari segala pihak di pulau ini terutama dalam konteks HoB, terkait menjaga pelestariannya maupun batasan eksplorasi dan eksploitasinya. Bisa dibayangkan, pihak Indonesia tengah mengambil kebijakan untuk menjaga kelestarian hutan melalui KSN HoB termasuk menjaga sumber air bawah tanahnya. Sementara di tetangga sebelah sana malah menggunakan hutan untuk "kegunaan lain" termasuk menguras air tanah dan membendung sungainya sbg sumber pembangkit listrik. Serta ironisnya lagi, listrik yg dihasilkan dari mata air yg dilindungi di wilayah Indonesia ternyata malah dijual ke Kalimantan Barat. Ini bukan sirik atau perkara anti pembangunan, tapi makna komitment dan strategi jangka panjang. Harga kelestarian hidup akan mahal dipertaruhkan, apalagi harga sebuah jantung.
-duke-
*SARAWAK TO BUILD 12 DAMS TO MEET FUTURE POWER NEEDS*
http://thestar.com.my/news/story.asp?file=/2008/7/23/nation/21894319&sec=nation
Sarawak plans to build 12 hydroelectric dams to meet its future industrialisation needs. The move has got environmentalists up in arms, questioning the need for the dams and the planned development of the state. They also suggested that Sarawak's national park may be threatened. However, Deputy Energy, Water and Communications Minister Datuk Joseph Salang Gandum said the dams were necessary to meet energy demands.
They will be located at Ulu Air, Metjawah, Belaga, Baleh, Belepeh, Lawas, Tutoh, Limbang, Baram, Murum and Linau rivers. The plan will also see an extension to the Batang Ai dam. All these are in addition to the 2,400MW Bakun dam and will push the total generating capacity in the state to 7,000MW by 2020, an increase of more than 600% from the current capacity.
The plans were in a presentation entitled Chinese Power Plants in Malaysia – Present and Future Development in October last year at the China-Asean Power Cooperation and Development Forum in Nanning, China. Chinese companies were expected to design, build and commission the dams, the presentation said. The Murum Dam project is scheduled to begin this year with a memorandum of understanding already signed between the Sarawak Energy Board and China Three Gorges Project Corporation. It also said a detailed study on the Batang Ai extension was already under way while a feasibility study had commenced at Limbang and a pre-feasibility study had started at Baram. Currently, Sarawak's energy output is 933MW and it does not need any more energy.
However, there are plans to expand the aluminium-smelting industry in the state which will need the planned output. Furthermore, the Bakun dam's 2,400MW was originally meant for peninsular Malaysia. According to media reports, the Sarawak Government has already approved the building of an aluminium smelter by local company Press Metal Bhd.
Others which have shown interest includes China's Luneng Group, Smelter Asia Sdn Bhd, Alcon Inc, Mitsubishi Corp, BHP Billiton Ltd and Australia's Rio Tinto. Centre for Environmental Technology and Development Malaysia chairman Gurmit Singh expressed concerns over the plan. He said the proposal to build the dams and then look for energy-guzzling industries to use the energy was wrong. He questioned how the building of the dams were related to the national energy policy.
"This is also a typical example of the 'not in my backyard' mentality where a country puts its polluting industries in other countries," he said. Salang said the 12 dams were necessary as consumption was projected to increase with the development of the Sarawak Corridor of Renewable Energy. He said the dams would only be approved if they passed their environmental impact assessment. He added that he did not expect the projects to materialise any time soon although the plan was to complete all dams by 2020 (*)
[Related : 'GRENN' DAMS HASTEN RAPE OF BORNEO FORESTS]
http://www.timesonline.co.uk/tol/news/world/asia/article5908207.ece