Pesta terbesar sepak bola sejagad telah usai. Peristiwa empat tahunan ini turut dinikmati secara antusias oleh sebagian besar penduduk Indonesia selama sebulan penuh. Makna apa saja yang kemudian bisa dipetik terutama bagi khalayak Kalimantan Barat?
Dengan status sang juara sebagai tim yang kalah di laga perdana untuk kemudian memukul tim yang tak terkalahkan di laga puncak, Spanyol telah menggapai segala prestasi. Dapat tercermin dari keberhasilan yang direkam selama dua tahun terakhir. Kampiun ajang Eropah 2008 tanpa terkalahkan, bermateri klub terbaik dan juara dunia 2009 ditambah lima gelar lainnya dalam semusim kompetisi oleh Barcelona. Puncaknya adalah tim nasional terbaik dari seluruh perwakilan 32 negara di Afrika 2010.
Sekadar meninjau situasi di Spanyol, penghargaan puncak ini setidaknya dapat meredam gejolak yang di terjadi pada pekan terakhir Juni 2010. Sabtu sebelum final digelar, terjadi demonstrasi besar di Timur Laut Spanyol oleh jutaan masyarakat sembari mengibarkan bendera Catalan bertuliskan "Kami bukan Spanyol, kami akan menentukan nasib sendiri". Tujuannya jelas, menuntut persamaan hak bahkan kemerdekaan berupa status pemisahan diri dari Madrid. Drama miris menjelang laga akhir dan menentukan bagi pasukan La Furia Roja untuk mendaki puncak pertamanya.
Padahal lihatlah, persahabatan Xavi Hernandez dengan Iker Casillas bukan basa basi. Kekompakan mereka amat lebur di lapangan atas nama kolektivitas, skenario yang lebih besar ketimbang status individual. Untuk kadar kebintangan, para matador adalah master yang menguasai posisinya dalam taraf mega star. Namun berbeda dengan ketergantungan Portugal terhadap Ronaldo atau peran Messi bagi Argentina, justru Spanyol sanggup lebur dan jitu memperagakan keindahan secara kelompok. Telah terbukti, tim yang hanya mengandalkan kebintangan justru terkubur di turnamen ini. Namun dengan satu bendera di dada, Spanyol mengusung persaudaraan La Furia Roja. Memang terdapat mayoritas Catalans terutama delapan pemain Barcelona, tapi jangan lupakan Fernando Torres dan santa Casillas sebagai Castilans, Sergio Ramos dari Andalusia, Xabi Alonzo, mewakili Basque, David Villa dari Asturian, David Silva dan Pedro si anak pantai Canary. Bahkan Iniesta sang idola Catalans sesungguhnya kelahiran Albacete yang berakar pada tradisi Castilan.
Kompetisi liga Spanyol begitu ditaburi bakat dan bintang, namun terpecah pada tiap klub termasuk rivalitas Madridista dan Catalans. Untuk level negara, selama ini predikat timnas Spanyol amat lekat dengan status 'nyaris juara' bahkan hanya penggembira turnamen. Kejayaan masa lalu lebih disebabkan faktor non tehnis, seperti prestasi medali perak sepak bola di Belgia 1920 akibat mogoknya Chekoslovakia. Status juara Eropah 1964 lebih karena faktor dominan sebagai tuan rumah di Santiago Bernabue. Tim Spanyol dikenal bagus pada babak awal turnamen namun hanya untuk kalah di babak berikutnya. Maka berterimakasihlah kepada Luis Aragones yang mulai menyusun strategi sejak 2004. Ia tidak perlu repot dengan masalah talenta berikut mayoritas pemain segar di bawah usia 25 tahun.
Kendala utama yang harus dibereskan adalah ego kesukuan, akar rivalitas peninggalan rezim Castilla terdahulu yang membekas bagi masyarakat Catalan, Basque dan Galicia. Pembuktian Aragones berbuah pada piala Eropah 2008, dengan kontroversi besar didepaknya Raul, sang pangeran Madrid. Generasi keemasan telah lahir, dimana sejak tahun 2006 hingga kini 2010 mereka hanya pernah kalah tiga kali. Beberapa rekor sepak bola mereka perbaiki bahkan diciptakan. Para matador memperagakan makna kolektif sekaligus indah berujung kemenangan yang disebut Taka Tiki. Timnas Belanda merasa paham bagaimana cara menghadapi Spanyol, butuh lebih dari sekadar permainan cantik bahkan membuang karakter Total Football. Merekapun menggunakan delapan kartu kuning dan satu kartu merah, namun solidaritas Spanyol sulit ditundukkan apalagi dengan kekerasan.
Sepak bola adalah pembawa pesan dan berlaku universal. Makna kemenangan Spanyol telah menjadi inspirasi bagi kompleksitas masalah kesukuan yang sedang mereka hadapi. Faktor persatuan dan kebersamaan merupakan komponen keberhasilan yang menyeluruh, relevan dalam konteks kemajemukan di Indonesia. Perbedaan adalah anugerah, justru disitulah arti keragaman yang bukan tunggal. Kalimantan Barat dapat meminjam keberhasilan Spanyol untuk mengutamakan kolektivitas demi satu tujuan secara bersama. Kalimantan Barat yang terintegrasi dan komprehensif dapat tampil sebagai pemenang serta berkelanjutan, semoga. (*)
[Dimuat di Pontianak Post, Jumat 16 Juli 2010]