02. UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut Tahun 1982 (UNCLOS 1982), mengamanatkan negara pihak yang memiliki warisan budaya bawah laut untuk melindunginya.
03. UU No. 5 Tahun 1992, Pasal 12; junto UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Pasal 26 mengenai Pencarian Cagar Budaya.
Pasal 12 (UU No. 5 Tahun 1992), (1) Setiap orang dilarang mencari benda cagar budaya atau benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya dengan cara penggalian, penyelaman, pengangkatan atau dengan cara pencarian lainnya, tanpa izin dari Pemerintah;(2) Ketentuan mengenai pencarian benda cagar budaya atau benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya termasuk syarat-syarat dan tata cara perizinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26 (UU No. 11 Tahun 2010), (1) Pemerintah berkewajiban melakukan pencarian benda, bangunan, struktur, dan / atau lokasi yang diduga sebagai Cagar Budaya; (2) Pencarian Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya dapat dilakukan oleh setiap orang dengan penggalian, penyelaman, dan / atau pengangkatan di darat dan / atau di air.
04. UU No. 32 Tahun 2004, Pasal 18 : (1) Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di laut; (2) Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundangan.
05. Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Keppres No. 19 Tahun 2007 tentang Panitia Nasional Pengangkatan Dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal Yang Tenggelam.
06. Keputusan Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan No. 56 Tahun 2011 tentang Pengawasan Pengelolaan Benda Berharga Asal Muatan Kapal Yang Tenggelam.
Antara lain Keputusan Presiden No.12 Tahun 2009 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal Yang Tenggelam sekaligus merubah Keppres No.19 Tahun 2007 tentang PANNAS BMKT, diikuti perubahan UU No.5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya menjadi UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Berdasarkan UU No.5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, BMKT adalah salah satu bentuk Benda Cagar Budaya yang memiliki nilai sejarah, budaya, ilmu pengetahuan, dan ekonomi, serta tenggelam di wilayah perairan Indonesia, zona ekonomi eksklusif Indonesia dan landas kontinen Indonesia, paling singkat berumur 50 tahun. Melalui UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, maka BMKT secara filosofis tidak hanya terbatas pada benda tetapi juga meliputi kawasan di air sebagai kesatuan setelah melalui proses penetapan. Secara sosiologis juga telah mencakup aturan kepemilikan, penguasaan, pengalihan, kompensasi, dan insentif. Secara yuridis mengatur hal yang terkait dengan pelestarian meliputi perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan melalui zonasi dalam kawasan cagar budaya.
Dalam hal terjadi pelanggaran, langkah yang dilakukan adalah koordinasi dengan pihak terkait :
01. Kementerian Kelautan dan Perikanan c.q Ditjen KP3K, Gubernur / Walikota / Bupati, PANNAS BMKT, terkait dengan Izin Survei, Izin Pengangkatan, dan Pemanfaatan;
02. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, terkait dengan ketentuan dan status benda cagar budaya (BMKT);
03. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, terkait dengan IMTA;
04. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, terkait dengan Pasport, Dahsuskim, dan visa;
05. Kementerian Pertahanan, terkait dengan Security Clearance (SC);
06. Kementerian Perhubungan, terkait dengan Surat Izin Berlayar (SIB), Surat persetujuan kelonggaran syarat bendera (dispensasi) penggunaan kapal asing angkutan laut dalam negeri, Sertifikat Kelaikan dan Pengawakan Kapal, Surat Izin Radio Komunikasi, Surat Ukur Kapal (certificate of class), Sertifikat Pencegahan Pencemaran Minyak, Daftar Anak Buah Kapal / Crew List, Buku Pelaut ;
07. Kementerian Kelautan dan Perikanan, terkait dengan Surat Izin Usaha Pengangkatan BMKT;
08. PANNAS BMKT, terkait sarana dan prasarana yang digunakan;
09. Kepolisian Negara RI, terkait dengan penanganan pencurian BMKT.
02. Potensi lokasi kapal tenggelam yang diperkirakan tersebar pada wilayah jalur perdagangan maupun transportasi laut tradisional sebagai cikal perkembangan kota pesisir di Kalbar, merupakan alternatif objek wisata bahari yakni spot diving khususnya aktifitas "wreck diving" maupun sebagai pengelolaan BMKT.
03. Potensi pengelolaan BMKT dapat memadukan prinsip utamanya sebagai upaya penelitian, pelestarian serta pendokumentasian terhadap benda dan kawasan cagar budaya yang berada di bawah permukaan air, dengan motif ekonomi secara bertanggung jawab.
04. Pemerintah Daerah melalui UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah harus dilibatkan berupa kewenangan dan kontribusinya yang dapat bermanfaat bagi khasanah kekayaan kebudayaan lokal maupun pembagian retribusi sebagai skema alternatif PAD.
05. Tindakan penyelaman yang dilakukan oleh masyarakat tradisional ataupun nelayan untuk mencari BMKT sebagai harta karun hendaknya dilihat pemerintah berupa peluang pengelolaan yang melibatkan stakeholder. Hal ini telah sesuai dengan kebijakan pemerintah yang akan memandang masyarakat sebagai subjek pembangunan serta meningkatkan partisipasi berupa proses pendidikan dan pengawasan pelestarian budaya melalui POKMASWAS.
06. Salah satu semangat dari UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah kesempatan yang lebih luas untuk melibatkan peran masyarakat secara langsung maupun kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan, pengawasan serta pemanfaatan cagar budayanya.
07. Perlu dibuat peraturan teknis tentang partisipasi masyarakat dalam pengelolaan BMKT, termasuk strategi yang harus dibedakan antara daerah sungai dengan laut. Arkeologi bawah air merupakan ilmu interdisipliner yang dapat melengkapi kemampuan menyelam dan ekskavasi bawah air untuk ditransformasikan secara awam kepada masyarakat sebagai pembekalan termasuk dalam memahami segala resikonya.
08. Perlu dibentuk semacam Asosiasi Pengusaha BMKT yang dapat difasilitasi Pemerintah dengan tujuan antara lain menciptakan koordinasi, harmonisasi dan integrasi di antara para pengusaha BMKT dengan PANNAS BMKT hingga Pemerintah Daerah. Melalui asosiasi pula dapat membantu Pemerintah di dalam upaya pencegahan, pengawasan hingga penindakan terhadap pihak dan / atau perusahaan yang terlibat praktek eksploitasi BMKT secara ilegal.
09. Perlu pusat informasi dan data sebagai bagian dari pengelolaan BMKT yang terintegrasi berupa pendataan jumlah kapal yang tenggelam berikut lokasinya, hingga jadwal dan sistem pemanfaatan BMKT berstatus selain BMN berikut hasil pelelangan.
10. Perlu sarana representatif berupa Museum Maritim untuk mewadahi segala aspek budaya dan jati diri bangsa bahari setidaknya pada level nasional. Termasuk penanganan BMKT pasca pengangkatan untuk registrasi dan display artefak sekaligus mempersempit peluang penguasaan BMKT oleh pihak tertentu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.(*)
Dionisius Endy