Agama, sepak bola, dan merokok .. Tiga perkara yg menurutku serupa dan bersifat personal namun berdampak masif serta sistemik bagi aspek kehidupan sosial. Merokok sebagai kebutuhan, adalah teman kerja untuk lebih meningkatkan konsentrasi maupun pasangan afdol buat ngopi. Ada kenikmatan tersendiri berupa nongkrong sembari ngepul di toilet saat buang hajat misalnya, atau sarana sosialisasi ampuh sbg pembuka percakapan di lingkungan baru yg sepaham dan menyumbang pajak secara syah. Merokok juga tidak sehat, mempengaruhi kualitas lingkungan terutama berdampak ketagihan. Merokok sanggup mencabik perekonomian para keluarga marginal yg lebih rela membakar uang ketimbang membayar uang sekolah anaknya. Maka persoalan merokok ternyata bukan lagi sekadar tinjauan kebiasaan individual maupun gaya hidup komunal tertentu, juga sanggup melintasi nalar ekonomi termasuk ajang riuh ragam propaganda berdalih kesehatan hingga standard etika dan hukum. Promosi rokok gencar mengoptimalkan segenap peluang yg bahkan gak berhubungan langsung dgn aktivitas maupun relevansinya melalui jargon "Hidup adalah Petualangan", "Wani Piro", "Gue Banget", plus turut menerangi jalan protokol dgn jajaran neon sign, hingga mengepung seluruh kegiatan olah raga popular. Para divisi kreatif bertanggung jawab menerobos setiap ranah publik hingga mengintervensi trend prilaku, sambil mengalihkan opini kesehatan yg seolah jadi tidak relevan lagi dgn berbagai resiko bagi korban rokok secara aktif maupun pasif.
Mereka hanya membujuk bagaimana sebatang rokok dapat diselipkan lalu dihisap, untuk seterusnya nikotin yg mengambil alih peran dan berharap tulisan resiko di tiap kemasan hanya slogan kewajiban bahkan bagian dari desain. Dengan sendirinya mungkin ada sebentuk pengakuan tentang kebenaran bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, impotensi hingga gangguan kehamilan yg berarti berlaku dampak universal. Namun seperti layaknya strategi pertempuran menjelang akhir, bagaimana ketika para produsen rokok berhasil mematahkan pernyataan tersebut kemudian malah berbalik lalu dijadikan pembenaran yg akhirnya berarti kemenangan mutlak? Ketika kedua kubu membuat klaim telah melibatkan para ilmiawan termasuk lembaga penelitian berikut dukungan dari tiap kepentingan di belakang, cukup jelas bahwa motivasinya telah bergeser dari tujuan hakiki kesehatan. Mitos rokok berbahaya bagi kesehatan dapat langsung dibalas dgn peragaan seorang bintang sepak bola lalu menyebut salah satu produk rokok sembari tersenyum. Setiap tiket pertunjukkan musik kaliber dunia telah disisipi sebungkus rokok sbg paket bonus ala Sinterklas demi mempertahankan branding position. Sebaliknya saat sebuah lembaga pengamat produk mulai mensponsori kegiatan keagamaan tertentu lalu menitip perlunya fatwa haram atas rokok, wacana malah bergeser adanya penggiringan yg mencerminkan pemaksaan terselubung. Alih2 menjelaskan apa relevansi merokok terkait penalti haram, namun jika sasaran yg ingin dituju adalah kelompok mayoritas kaum dogmatis demi memperoleh dukungan moral, berkesan patut untuk dijajaki.
Merokok bukan lagi perkara mitos atau keyakinan masal, tapi telah memerlukan perangkat pasal dan ayat berupa penggodokan perundangan formal sbg unsur legitimasi. Persoalan rokok bergulir cepat saat Legislatif mengusulkan RUU berikut rancangan turunannya serta Eksekutif menyusun RPP, bak papan domino menggelinding untuk memaksa peralihan mata pencaharian beserta fungsi lahan untuk bertanam selain tembakau di negeri kretek ini. Jika kepentingan adu bisnis telah melibatkan perebutan lahan termasuk sumber kehidupan berbasis lokal, apalagi yg bisa dikatakan selain pelanggaran hak hidup versi berikutnya atas nama kapital? Serta bukan lagi kompetisi bebas seperti disyaratkan para kapitalis global, karena topiknya dapat bergeser kepada kontribusi pembayar pajak resmi negeri ini yg setia memberi lapangan kerja demi mengepulnya dapur masyarakat petani. Selain fakta bahwa gurita Phlilip Morris telah mengangkangi Djie Sam Su juga BAT menguasai Sampoerna, perang sesungguhnya adalah keserakahan kapitalis asing hendak mengebiri kretek nan khas yg selama ini sulit ditembus perdagangan rokok putih. Pasaran dan sensasi kretek hendak dicaplok sekaligus penjajahan modern terselubung terutama bagi pasar Asia dan jati diri Indonesia khususnya. Mungkin hanya kaum perokok aktif yg dapat memahami perbedaan jenis rokok putih dgn kretek, terutama dari materi pembuatannya. Yang pasti, akumulasi pemikiran liar ini telah berujung pada sentimental berkebangsaan jadi bangkit sekaligus bernafsu menyalakan lagi sebatang kretek demi menepis setiap pertengkaran akibat alasan palsu. Alasan yg terasa lebih baik sekaligus jadi begitu masuk akal ketimbang menelan gelisah lantaran larangan dokter atau uring2an di mall dan tempat publik yg semakin sistematis dalam mendiskriminasi kaum ahli hisap pembayar pajak yg syah.
Bahwa dunia global begini memang gak bisa lagi terlepas dari cengkeraman intrik, propaganda, lobi, argumentasi, dan intimidasi, termasuk perihal merokok. "You can't hide the truth, but you can filter it", adalah tagline cerdas mewakili film dialog Thank You For Smoking. Merokok dapat mewakili karakter hitam – putihnya manusia, mereka sanggup membuatnya ada lantas sibuk meniadakan. Disitulah terjadi mekanisme proses berupa antar pelaku kegiatan yg sebetulnya dibutuhkan entah berupa argumentasi hingga propaganda, namun selalu menjadi korban adalah pasar berupa produk "ada" dan "tidak". Lalu agar proses tadi selalu terlihat sibuk dan penting, ditambahkan unsur candu supaya ketagihan untuk kemudian berlakulah intimidasi. Merokok hanyalah contoh pembuka nan sederhana, selanjutnya boleh diterapkan pada dua topik yg kutawarkan di atas yakni agama dan sepak bola. Agar lebih meyakinkan, ada kata kunci bernama "Divine Kretek", memiliki kandungan utama protein dan asam amino untuk berperan penting mengganti sel tubuh yg mati. Produk rokok hasil rangkaian penelitian yg dapat memperbaiki kualitas hidup penderita berbagai penyakit degenerative seperti kanker, stroke, alzheimer, gagal ginjal, hepatitis, bahkan autis, adalah kampanye jitu sekaligus telak dalam memukul isu pamungkas berupa pendukung hidup sehat.
Sementara Nick Naylor (Aaron Eckhart) sang pemeran utama film akhirnya "dipaksa" meninggalkan bisnis Merchant of Death (Rokok, Alkohol, dan Pistol), untuk melanjutkan bakatnya sbg konsultan industri selular (hand phones) yg antara lain memerangi isu kangker otak termasuk kampanye keamanan tetap menyalakan hp di pesawat terbang. Itulah nafas kehidupan sesungguhnya, merokok maupun tidak. Dan aku memang perokok, bukan atheis, hanya penggemar sepak bola .. carpe diem. Michael Jordan plays ball, Charles Manson kills people, and .. I talk. Everyone has a talent. I don't sell Tic Tacs, I sell cigarettes, and they're cool, available, and .. addictive. The job is almost done for us.
-duke-