Konon, hidup manusia adalah sebuah kompetisi. Lengkap dgn segala kompleksitas dan tujuannya, yg pasti akan berujung pada hasil akhir berupa kemenangan. Bila ada yg menang, tentu ada yg dikalahkan, atau mungkin draw (win-win solution). Persoalannya, kapan anda akan menang jika tak pernah kalah, atau apa makna kemenangan jika tak mengenal kekalahan? Dua sisi mata uang ini seharusnya berbobot setara, walau ada embel2 bahkan status "kemenangan membanggakan" di atas fenomena sebaliknya berupa "kekalahan pilu". Secara leksikal, nilai kemenangan memang identik dgn unggul nan kompetitif, berjaya, bahkan untung. Menang adalah simbol kekuatan, prestasi, berikut harga diri, menjadikan kekalahan seolah terkutuk melalui didera malu, rendah diri, serta tidak berkualitas. Padahal banyak contoh nyata terhadap nilai sumbang "kemenangan secara memalukan" (menghalalkan segala cara?), serta sebaliknya "kekalahan dgn kepala tegak". Dalam konteks umum kompetisi, tujuan akhir memang memaksa hasil sbg nomor satu walau belum tentu bermakna optimal. Maka kemungkinan memang perlu ditambahkan unsur lain seperti aturan kesepakatan, atau meminjam konteks olah raga telah dikenal "sportivitas" yg menjadi esensi dari kesejatian "sport" itu sendiri. Dekonstruksi makna kekalahan perlu terus disikapi sbg penyeimbang nan sepadan seperti pada istilah "kemenangan tertunda".
Bukan berlebihan jika sepak bola dapat mewakili esensi manusia dalam segala dimensi. Sepak bola bisa indah melalui hukum "trias politica" melalui aspek olahraga (sport), permainan (game), dan prestasi (goal). Melalui aspek olahraga telah mencakup segala unsur dasar bersifat atletik yakni lari, lompat, dan lempar, kemudian permainan yg bersifat kompetitif (pola individual maupun kelompok), serta prestasi dalam konteks pertandingan dan bukan perlombaan. Juga terdapat "trias politica" lainnya melalui pemenuhan jasmani (bugar secara kardiovaskuler, kekuatan otot, daya tahan, dan fleksibilitas), pola pikir (sehat logika, nalar, dan kreatif), serta mentalitas (tangguh, fair, objektif). Sehingga sepak bola boleh dianggap pula sedikit dari olahraga yg mengakomodir "trias politica" sistem nilai akhir berupa menang, draw, dan kalah. Kumpulan ragam "trias politica" versi sepak bola inipun bukan kebetulan menjelma secara aktual dan faktual melalui tiga kontestan sepakbola terbaik sejagad 2010 yakni Messi, Iniesta, dan Xavi yg dikenal sbg trisula tim Barcelona. Messi merupakan penyelesai akhir, Iniesta sbg penghubung termasuk pembuat perbedaan di lapangan, sementara Xavi adalah penyuplai kesemuanya sekaligus dalang utama. Jika masih ingin ditambah menuju paripurna sepak bola dgn meminjam Barcelona, adalah "trias politica" sbg tim tempur kelas dunia, pelatih muda berkarakter sekaligus santun, serta manajemen klub ideal.
Ketika Barca takluk 1-3 dari Real Betis di leg dua perempat final Copa Del Rey kemarin (20/1/2011), adalah kekalahan pertamanya setelah memecahkan rekor di 28 laga sebelumnya. Catatan ini memperbaiki 27 laga berurutan tanpa terkalahkan pada periode 1973-74 saat kedatangan Johan Cruyff serta di bawah kepemimpinan Rinus Michels, era keemasan dan masuknya rezim total football di tubuh Catalans. Kejayaan yg diperbaiki oleh tim yg kini memiliki ciri tersendiri bernama Taka Tiki dan terbukti sukses menumbangkan sang inventor dari Belanda melalui ajang final Piala Dunia 2010. Maka saat timnya gagal menorehkan laju rekor ke 29, apakah kekalahan itu menjadi aib memalukan? Sang pelatih yg harus bertanggungjawab memberikan komentarnya, dgn gaya khas dan cara yg jauh dari pecundang, "Kami memang harus kalah untuk bisa mengapresiasi sesuatu. Sebagai jalan untuk bisa lebih baik lagi, adalah menganalisis kesalahan yang terjadi," kata Pep Guardiola. Seraya tak lupa mengapresiasi tim yg mengalahkannya, "Kami semua paham betapa berbakatnya Real Betis dan paham apa yg bakal terjadi. Bayangkan bila mereka malah unggul 3-0, mungkin kami bisa tersingkir", papar pelatih yg barusan berusia 40 tahun dan tetap meloloskan timnya ke semifinal dgn agregat 6-3. Makna dari kekalahan adalah merupakan ambang kesadaran untuk tetap berpijak dan realistis, setidaknya secara pola pikir yg sehat logika serta keseimbangan mental. Karena sesuai salah satu azas trias politica di atas, sepak bola memang bukan melulu perkara jasmani.
Kekalahan dapat membantu untuk terus berkembang dan awas, bahkan introspeksi seperti tim Spanyol yg justru menelan kekalahan di laga pembuka Piala Dunia 2010. Bukanlah kebetulan jika separuh tim juara dunia anyar itu bermaterikan pendekar didikan Pep muda dan santun begini. Filosofi yg dapat memberikan empati ketika sedang mengalahkan saingannya, juga mendatangkan simpati di saat gagal menang. Kaliber seorang Ferguson yg harus menerima fakta bahwa pasukannya kalah telak 0-2 di Roma 2009 oleh pelatih ingusan (saat itu), justru mengundang pujian, "Jika aku harus pensiun, kurasa sudah ada pengganti pilihanku sendiri!". Dialah Pep, sang rival yg barusan mengalahkannya di ajang puncak idaman para pelatih klub dunia. Sungguh berbeda dgn makna kekalahan yg pernah diperagakan oleh seorang pelatih lain dgn komentar terkenalnya, "Kekalahan terindah dalam karirku", saat Barcelona mengalahkan Inter Milan namun gagal secara agregat di ajang Champion 2010. Memang ada unsur strategi di situ, namun imbuhan berupa komentar yg seolah menihilkan hasil kemenangan bagi sang lawan. Contoh pemenang yg luput menyadari makna menang sehingga kemenangan telah membunuh pemenangnya. Sepak bola memang terkadang membutuhkan menang mutlak pada babak tertentu, namun sepak bola bukan melulu perkara sang pemenang memenangkan kemenangan. Kemenangan terkadang siklus yg bisa kejam, seperti dunia mencatat dgn disumpalnya "You are what you say" sang pelatih itu saat kembali bertandang ke Neu Cam dalam konteks El Clasico yg berakhir 0-5.
Kemenangan adalah berkah, namun beresiko membius dan menyisakan sedikit ruang berkaca dan latihan di sana. Menang tentu membanggakan, sekaligus menimbun godaan ego dan eforia kesombongan. Walau dihindari untuk kalah, namun kekalahan dapat mentoleransi dan daya paksa tinggi untuk senantiasa rendah hati dan bukanlah rendah diri. Perlu therapy 0-3 bagi Garuda di Stadion Bukit Jalil untuk kembali menapak ke bumi hingga kembali menutup pesta dgn kemenangan di kandang walau luput juara. Kalah bukan pilihan, tapi kekalahan adalah sumber kesabaran dan introspeksi yg semestinya bagian dari proses kemenangan. Menang dan kalah merupakan komplementer yg mendewasakan sebuah proses di atas tujuan akhir. Selayaknya satu peristiwa tahun 490 SM di lereng Gunung Olympus telah mengajarkan pesan kemenangan dari seorang prajurit bernama Pheidippides yg berlari sepanjang 42 kilometer untuk mengabarkan kemenangan pasukan Yunani atas Persia. Ia berseru "Nenikikamen!" (Kita menang!), lalu terjatuh dan meninggal di tempat. Refleksi peristiwa yg kelak mengilhami budaya lari Maraton serta memberi makna motivasi, sportivitas, heroisme, dan prestasi sbg cikal semboyan "Citius, Altius, Fortius" (lebih cepat, lebih tinggi, lebih kuat), dipahami dalam konteks meraih kemenangan sejati. Kematian sang Pheidippides bukanlah kelemahan apalagi kekalahan, seperti halnya pelatih Pep saat menerima kemenangan lawannya. There is no difference between mind and sky. Serta tak ada satu awanpun, entah awan terang kemenangan maupun awan gelap kekalahan, yg sanggup mengubah warna langit. Apalagi mengaburkan hijaunya lapangan sepak bola.
-duke aka "duke-lona" pada la liga yahoo fantasy-