Bukan berlebihan jika sepak bola dapat mewakili esensi manusia dalam segala dimensi. Sepak bola bisa indah melalui hukum "trias politica" melalui aspek olahraga (sport), permainan (game), dan prestasi (goal). Melalui aspek olahraga telah mencakup segala unsur dasar bersifat atletik yakni lari, lompat, dan lempar, kemudian permainan yg bersifat kompetitif (pola individual maupun kelompok), serta prestasi dalam konteks pertandingan dan bukan perlombaan. Juga terdapat "trias politica" lainnya melalui pemenuhan jasmani (bugar secara kardiovaskuler, kekuatan otot, daya tahan, dan fleksibilitas), pola pikir (sehat logika, nalar, dan kreatif), serta mentalitas (tangguh, fair, objektif). Sehingga sepak bola boleh dianggap pula sedikit dari olahraga yg mengakomodir "trias politica" sistem nilai akhir berupa menang, draw, dan kalah. Kumpulan ragam "trias politica" versi sepak bola inipun bukan kebetulan menjelma secara aktual dan faktual melalui tiga kontestan sepakbola terbaik sejagad 2010 yakni Messi, Iniesta, dan Xavi yg dikenal sbg trisula tim Barcelona. Messi merupakan penyelesai akhir, Iniesta sbg penghubung termasuk pembuat perbedaan di lapangan, sementara Xavi adalah penyuplai kesemuanya sekaligus dalang utama. Jika masih ingin ditambah menuju paripurna sepak bola dgn meminjam Barcelona, adalah "trias politica" sbg tim tempur kelas dunia, pelatih muda berkarakter sekaligus santun, serta manajemen klub ideal.
Ketika Barca takluk 1-3 dari Real Betis di leg dua perempat final Copa Del Rey kemarin (20/1/2011), adalah kekalahan pertamanya setelah memecahkan rekor di 28 laga sebelumnya. Catatan ini memperbaiki 27 laga berurutan tanpa terkalahkan pada periode 1973-74 saat kedatangan Johan Cruyff serta di bawah kepemimpinan Rinus Michels, era keemasan dan masuknya rezim total football di tubuh Catalans. Kejayaan yg diperbaiki oleh tim yg kini memiliki ciri tersendiri bernama Taka Tiki dan terbukti sukses menumbangkan sang inventor dari Belanda melalui ajang final Piala Dunia 2010. Maka saat timnya gagal menorehkan laju rekor ke 29, apakah kekalahan itu menjadi aib memalukan? Sang pelatih yg harus bertanggungjawab memberikan komentarnya, dgn gaya khas dan cara yg jauh dari pecundang, "Kami memang harus kalah untuk bisa mengapresiasi sesuatu. Sebagai jalan untuk bisa lebih baik lagi, adalah menganalisis kesalahan yang terjadi," kata Pep Guardiola. Seraya tak lupa mengapresiasi tim yg mengalahkannya, "Kami semua paham betapa berbakatnya Real Betis dan paham apa yg bakal terjadi. Bayangkan bila mereka malah unggul 3-0, mungkin kami bisa tersingkir", papar pelatih yg barusan berusia 40 tahun dan tetap meloloskan timnya ke semifinal dgn agregat 6-3. Makna dari kekalahan adalah merupakan ambang kesadaran untuk tetap berpijak dan realistis, setidaknya secara pola pikir yg sehat logika serta keseimbangan mental. Karena sesuai salah satu azas trias politica di atas, sepak bola memang bukan melulu perkara jasmani.
Kemenangan adalah berkah, namun beresiko membius dan menyisakan sedikit ruang berkaca dan latihan di sana. Menang tentu membanggakan, sekaligus menimbun godaan ego dan eforia kesombongan. Walau dihindari untuk kalah, namun kekalahan dapat mentoleransi dan daya paksa tinggi untuk senantiasa rendah hati dan bukanlah rendah diri. Perlu therapy 0-3 bagi Garuda di Stadion Bukit Jalil untuk kembali menapak ke bumi hingga kembali menutup pesta dgn kemenangan di kandang walau luput juara. Kalah bukan pilihan, tapi kekalahan adalah sumber kesabaran dan introspeksi yg semestinya bagian dari proses kemenangan. Menang dan kalah merupakan komplementer yg mendewasakan sebuah proses di atas tujuan akhir. Selayaknya satu peristiwa tahun 490 SM di lereng Gunung Olympus telah mengajarkan pesan kemenangan dari seorang prajurit bernama Pheidippides yg berlari sepanjang 42 kilometer untuk mengabarkan kemenangan pasukan Yunani atas Persia. Ia berseru "Nenikikamen!" (Kita menang!), lalu terjatuh dan meninggal di tempat. Refleksi peristiwa yg kelak mengilhami budaya lari Maraton serta memberi makna motivasi, sportivitas, heroisme, dan prestasi sbg cikal semboyan "Citius, Altius, Fortius" (lebih cepat, lebih tinggi, lebih kuat), dipahami dalam konteks meraih kemenangan sejati. Kematian sang Pheidippides bukanlah kelemahan apalagi kekalahan, seperti halnya pelatih Pep saat menerima kemenangan lawannya. There is no difference between mind and sky. Serta tak ada satu awanpun, entah awan terang kemenangan maupun awan gelap kekalahan, yg sanggup mengubah warna langit. Apalagi mengaburkan hijaunya lapangan sepak bola.-duke aka "duke-lona" pada la liga yahoo fantasy-


