Konon, suara yang terucap sadar dari bibir manusia serta sanggup menyusun makna, adalah cerminan jiwa sekaligus menunjuknya sebagai mahluk berahlak. Maka lain dengan burung beo pak RT di saat menyapa cewek tetangga, tentu bukan menggoda lantaran naksir. Meski patut curiga ada aktor intelektualnya, karena belum terbukti bahwa bangsa hewan liar telah sanggup menggunakan bahasa verbal untuk berkomunikasi selayak manusia sebagai 'hewan beradab' (homo sapiens). Maka sangat kehilangan martabat jika seseorang telah disebut 'mem-beo', sebab ia mengingkari kodrat sebagai ciptaan tertinggi dalam imam, akal dan budi.
Suara yang menjadi sarana. Adalah seorang bernama Galen, filsuf asal Yunani pernah berujar, "The voice is the mirror of soul!". Apakah seseorang itu sedang bahagia, marah atau berprilaku plin-plan, bahkan menahan emosi, semua kentara lewat getar suaranya. Kesan audial melalui tutur kata juga telah memperkuat imajinasi tertentu. Malah kesaktiannya dapat mengubah suatu kalimat, menciptakan suasana bahkan mempengaruhi khalayak yang mendengarkan. Suara memang mewakili buah pikiran, sekaligus berfikir lewat suara. Sehingga walau cuma bicara omong kosong, keahlian ini terbukti dapat menjadikan anda menjabat menteri kabinet di Republik ini. Tapi kisahnya sih cerita duluuuuu ..
Memang, mulanya adalah perkara suara. Akhirnya dapat menunjukkan watak, lantas identitas yang menjadi citra berikut status. Dari Elvis Presley hingga Oprah Winfrey, Benyamin Suaeb maupun Rebbeca Tumewu dalam konteks lebih umum, merupakan jati diri yang sanggup menggunakan suara sebagai aset profesi. Semakin orang kenal dan suka suaranya, berarti image telah tercipta dan laku. Suara telah menjelma sebagai bentuk komoditi. Di Amerika tahun 20-an atau Jakarta sekitar 70-an saat maraknya radio amatir maupun pemancar gelombang gelap, suara pernah jadi status gaul tertentu. Hobi bergengsi di jalur radio komunikasi maupun gelombang SW (Short Wave) adalah memanfaatkan suara dalam membangun citra tersendiri bagi pelakunya. Hingga dalam istilah ilmu radio, dikenal dengan istilah 'journeyman announcer'.
Terjemahan secara bebasnya berarti 'penyiar dari jalanan'. Yakni karakter yang dianggap mewakili selera tipikal tertentu secara informal. Misalnya suara pria telah diwakilkan bersuara bariton, sementara kaum perempuannya pas dengan alto. Maka kurang lebih si pria akan menyeret vokal bersuara berat, serak-serak basah tapi diupayakan terkontrol. Dengan intonasi agak ogah perlahan, malas tapi garang, sebelum kadang ditutup dengan tawa teratur berjumlah empat ketukan. Tentu pantang jika bunyi tawanya jadi cekikikan. Warisan ini masih tampak pada penyiar senior TVRI yang berangkat dari dunia radio serta tetap dipakai menjadi format khas RRI. Perkara meramu kalimat atau tatanan bahasa, itu gampang dilatih. Penggunaan bahasa Inggris hanya praktis digunakan mengeja judul lagu, toh siarannya tetap wajib berbahasa Indonesia yang baik dan 'bener' serta ditunjang tim penulis naskah atau scripwritter.
Sejalan perkembangan berikut tuntutan persaingan, khusus bagi radio swasta modern ternyata tak lagi terpaku pada urusan suara nge-bas atau merdu merayu. Ia perlu bekal lain sesuai era global ini: figur berpendidikan dan gaul. Announcer bukan sekadar pembaca berita atau hanya pengantar, melainkan pelaku aktif. Penyiar radio kiwari dituntut sebagai penghibur, pewarta informasi, pencipta suasana dan trendy serta sobat kental sebagai teman bicara di sisi bantal pada jam sebelas malam. Ketrampilan mengolah kata serta kiat merayu dalam 'meracuni' pendengarnya, menuntut jurus lain yakni 'announcing skill'. Kriteria utama selain otak encer, juga melek gaul, kaya gagasan dalam bahasa Indonesia maupun logat MTV, fasih internet serta berpikiran merdeka. Dimana dalam relevansinya, penyiar juga merupakan disc jockey, master of ceremony maupun publik relation. Mereka kini adalah komunikator ulung.
Jelaslah bobot pada suara telah mengalami perkembangan, karena mewakili ciri figur yang hangat, ramah dan intelegent. Juga kesanggupannya mewakili citra - produk tertentu, maka para announcer akan mengakrabi pendengar lewat 'berbicara dengan', bukannya menjadi 'berbicara kepada'. Selayaknya dialog pihak yang sederajat, tidak merupakan petuah apalagi instruksi. Bukankah menjengkelkan di saat keheningan malam, pendengar harus direcoki dengan pengulangan kalimat klise: "Para pendengar, sepuluh menit telah berlalu dengan sebuah lagu. Kini waktu telah menunjukkan pukul sepuluh liwat sepuluh menit. Untuk sepuluh menit berikut, kembali akan disampaikan .. blah .. blaa ..!". Belum lagi saban sepuluh menitnya harus diingatkan untuk memeriksa pintu, jendela, serta tak lupa mematikan kompor. Pola berpikir tipikal tidak merdeka, miskin ide, menutup dialog dan melecehkan logika bagi si penyiar itu sendiri maupun terutama pendengarnya.
Maka, penyiar radio memang sangat berkepentingan akan kualitas pribadi dirinya di udara, 'air personality' kerennya, sebelum mewakili citra komunitasnya. Manusia di balik perangkat mikrophone itu adalah pilot yang mengatur arena pertunjukkannya seperti Alan Freed saat meneriakkan kalimat dan menyebar paham Rock and Roll pertama kali ke atmosfir bumi. Serta suara manusia itu pulalah yang memberi nuansa sekaligus nyawa dari sepetak ruang siar lantas menyebar ke tiap kotak suara para pendengarnya, seperti sosok Adrian Cronauer yang diperankan Robin Williams pada film Good Morning Vietnam. Sementara kecanggihan perangkat siar maupun rekayasa audio berikut koleksi diskography hingga tim kreatif akan menjadi pelayan bagi sang announcer, bukan sebaliknya untuk dijajah tehnologi. Radio jelas merupakan perkara manusia sebagai pencapaian akal nan manusiawi, dan berlaku untuk seterusnya akan tetap demikian tak tergantikan. "Radio Ga Ga .. someone still loves you", kata Queen.
Sehingga konsep suara menjadi pemenuhan perilaku populis, sekaligus karakter akan kebutuhan pada strata tertentu terhadap informasi, edukasi, bisnis dan hiburan. Karena radio modern telah menjadi institusi bisnis serius, dalam segenap aspeknya. Radio modern punya kesanggupan mengekploitasi keunggulan ini, bersama faktor lain berupa program siaran, format lagu, strategi-segment, acara 'off air' hingga aplikasi pengembangan teknologinya. Namun segalanya memang dimulai melalui suara dulu, kadang lebih berkepribadian ketimbang kesan fisik yang ditampilkan. Akhirnya, keberhasilan suara adalah ketika tiap kuping yang mendengar akan memiliki beragam persepsi yang tidak sama. Itulah guna radio, suara yang 'menggambarkan' cerita, the theater of imagination. Serta mengalir sebagai partner sejalan, dimana suara sang penyiar sanggup tampil 'as the mirror of the soul!'
*Endy Saman - harian SUAKA; 25 Februari 1999