
Tentu awam tidak asing lagi dengan kendaraan khas bernama becak, walau kini tinggal fosil sejarah. Salah satu sarana transportasi umum yang pernah amat berperan dalam kehidupan masyarakat Pontianak. Ongkos jasanya relatif terjangkau karena bisa negosiasi, serta rute perjalanannya begitu dinamis atau boleh dikatakan juga 'sangat personal'. Berbeda dengan oplet yang sudah memiliki rute khusus, walau punya manuver sama yang penuh kejutan. Tak heran becak menjadi pilihan kendaraan para ibu rumah tangga kebanyakan. Misalnya ketika selesai belanja di pasar Flamboyan, kendaraan roda tiga namun tangguh ini bisa mengantar pulang penumpangnya hingga persis depan pintu dapur. Ditambah pelayanan yang familiar, sang abang becak bahkan turut masuk ke dapur membawakan belanjaan yang seabrek. Hal ini pasti sulit dilakukan oleh para supir oplet.

Namun kembali pada hal terpentingnya, adalah toleransi bermasyarakat serta bagaimana interaksi pengamalannya. Hanya faktor tenggang rasa yang dapat membuat pemakai jalan lain boleh dapat maklum akan kelakuan 'pengemudi dewa' tersebut. Kalaupun dikenakan peraturan ber-lalu lintas ketat atau kelewat banyak larangan yang belum tentu dimengerti, malah berdampak menyusahkan terutama bagi pelanggannya. Bahkan terancam lebih rumit urusannya, persoalan becak lantas merembet ke ibu-ibu yang marah karena becak dilarang. Lalu dimana korelasi personalitas jazz dengan manuver becak di tulisan ini? Apakah karena jazz yang telah mempengaruhi prilaku sang pengemudi becak lewat aksi improvisasinya? Karena esensi jazz adalah ekspresi kebebasan, identik dengan spontanitas manusiawi. Atau malah sesungguhnya jazz telah dapat memasyarakat, meski kerap diimbuhi komentar, 'Maklumlah, musiknya menantu dewa'. Lantas apakah jazz telah menjadi musiknya para pengemudi becak? Nah, mungkin disinilah ironika persamaan sekaligus letak perbedaannya.
Maka dibalik kebebasannya, Jazz justru sangat tidak bebas dan penuh tuntutan karakter. Jazz sangat membutuhkan ciri, dibalik keleluasaan yang seolah tak terbatas. Faktor ini menjadi salah satu alasan, mengapa rekaman album jazz sangat tidak prospek buat dibajak semacam produk sound like atau cover version yang memang tidak bermartabat. Mana ada sih lagu Misty tertulis dinyanyikan oleh Ella Fitzgerald tapi dibawakan oleh penyanyi studio dari Tanjung Priok walau dibalut rekaman canggih ala audiophile. Karena Sarah Vaughan bukan hanya penyanyi yang bisa didubbing, melainkan seniman jazz dan cuma ada satu karakter bernama Sarah Vaughan. Artinya pula, banyak pengemudi becak namun masing-masing memiliki karakter tersendiri misalnya ada yang bersedia mengangkat karung beras milik pelanggannya hingga ke dapur. Tapi ketika mereka sedang mengayuh becaknya di jalan, seolah jadi sama dalam satu paham yakni manuver khas ala becak yang hanya bisa diketahui, ya itulah, olehnya sendiri dan Tuhan.
Kedua, berarti sejenak kembali pada esensi jazz itu sendiri. Meski bosan mengulang, tapi perlu diingat bahwa awal jazz terlahir sebagai produk derita para pekerja kasar di Amerika di awal tahun 1900-an. Penindasan ideologis dari kaum majikan terhadap pekerja kulit hitam, mengakibatkan pemberontakkan lewat perlawanan budaya dan tumbuh di sekitar New Orleans. Dengan ekspresi musikal tanah leluhur Afrika serta mengacak lagu dengan improvisasi naluriah, mereka memainkan instrumen produk kulit putih lewat aturan yang sama sekali keliru menurut teori baku. Rintihan sukma berbalur blues pilu dicampur soul berisikan nada harapan, adalah identitas jazz sejati. Simbol anti kemapanan yang menggugat dominasi major produk kelas atas, termasuk pesan-pesan pemberontakan. Jazz adalah ekspresi, berbahasa utama kebebasan di atas kekangan. Kebebasan yang kadang membingungkan.
Maka saat tiba di Indonesia, jazz nota bene tidak mengalami proses jerit penderitaan seperti leluhurnya. Jazz Indonesia langsung masuk istana, adalah simbol arogansi selera dan hipokrasi intelektual. Malah langsung diterima sebagai musik pengiring dansa para noni di istana bergaya Belanda. Mungkin perlu ditambahkan pula, lagu kebangsaan Indonesia Raya awalnya adalah sebuah karya jazz dimana WR Soepratman merupakan jazzer handal. Jazz milik Indonesia memang punya referensi yang berbeda, awal yang mempengaruhi khalayak jazz versi Indonesia. Seolah dengan mengerti jazz, berarti lebih tinggi tingkat seleranya dalam musik. Berdampak sosialisasi bahwa jazz akhirnya hanya membentuk kelompok ekslusif. Maklum, dulunya berkelakuan sbg piaraan amtenar, kini bisa naik pamor hanya dengan membonceng 'kendaraan dewa' padahal tetap naiknya becak.

*Dionisius Endy
(harian Pontianak Post; 04 Juli 1999)