Tuduhan Kalbar sebagai pengekspor asap tahunan serta keluhan dari negara tetangga kerap terdengar, walau korban yang paling menderita tentulah penduduk di sekitar lokasi pembakaran (hotspot). Banyak wacana dan upaya sudah dilakukan berbagai pihak untuk menangani asap. Namun masalah ini, sebutlah, sudah menjadi semacam tradisi hingga tetap berlangsung terus entah sampai kapan. Siapakah yang harus bertanggung jawab? Apakah peladang tradisional yang telah menjalani aktivitasnya sejak puluhan tahun tanpa masalah, ataukah para pemilik modal yang sanggup mengeksploitasi lahan besar-besaran?
Sesuatu memang sedang terjadi pada bumi kita secara global. Asap dan kebakaran lahan terus terjadi dimanapun setiap tahun. Entah berupa kesengajaan beberapa pihak untuk pembersihan hutan (land clearing), maupun faktor alam seperti musibah tiap musim panas seperti di Australia (bush fire). Serta berkaitan erat dengan efek rumah kaca pada atmosfir bumi, sehingga telah menyebabkan pemanasan global dan naiknya suhu udara. Fenomena tersebut sanggup merubah iklim dunia secara ekstrim dan berdampak masif. Naiknya permukaan laut akibat es kutub mencair, serta musim hujan dan kemarau tidak menentu yang berdampak pada banjir hingga kebakaran. Kadar oksigen sehat yang dibutuhkan oleh pernafasan semakin terdesak karena udara semakin tercemar.
Sebuah refleksi popular yang menggambarkan katastrofis pemanasan global, contohnya melalui apokaliptis fiksi ilmiah berjudul The Day After Tomorrow. Tidak ada hal indah dalam film produksi Hollywood tahun 2004 ini. Dominasi adegan dipenuhi kedahsyatan alam sebagai pemeran utama melalui terpaan gelombang panas, badai gigantik samudera Atlantik, siklus musim berubah drastis, hingga seluruh daratan berselimut es membeku. Bangunan pencakar langit tampak memucat putih, segala mahluk hidup tercekik suhu di bawah nol derajat celcius, hamparan es membutakan mata. Sungguh teramat pas dengan simbol patung lady Liberty yang tergeletak tanpa daya hingga terbenam salju sebatas dadanya. Alam sanggup memperlihatkan kekuasaannya di bumi.
Diinspirasi dari rangkuman kajian berjudul The Coming Global Superstorm, film The Day After Tomorrow memang tak bermaksud menjual fiksi hiburan belaka. Melibatkan sejumlah ilmuwan termasuk pakar perubahan iklim Dr. Michael Molitor yang turut memprakarsai Protokol Kyoto 1997, untuk memberi masukan pada skenario film. Sementara rekaman sebagian besar adegan berupa rekaan kiamat berikut setting landscape dilakukan di Montreal, Kanada. Produksi kerjasama sineas dua negara itu seolah ingin merekam bencana sekaligus memperingatkan para pemimpin mereka, yang hingga kini masih keras kepala menentang isu dampak lingkungan. Amerika Serikat dan Kanada memang menolak meratifikasi Protokol Kyoto, bahkan nyaris memporak-porandakan agenda perundingan iklim Conference on Climate Change 2007 di Bali.
Menurut laporan ilmiah mengenai perubahan iklim (Intergovermental Panel on Climate Change), telah terjadi kenaikan suhu permukaan bumi. Berupa peningkatan berkisar 0,7 derajat Celcius yang berlangsung sejak revolusi industri di abad 18 hingga ke era millenium. Perubahan suhu yang menyebabkan terjadinya pemanasan bumi (global warming) dan memicu perubahan iklim (climate change) itu, telah dikhawatirkan ilmuwan Swedia bernama Svante Arrhennius sejak tahun 1894. Yakni saat revolusi industri berupa tumbuhnya pabrik sebagai pengguna bahan bakar fosil seperti gas alam, minyak, dan batu bara. Serta perkembangan pesat tehnologi transportasi modern yang menguras bensin sekaligus membuang emisi dari knalpot mobil, kereta api, hingga pesawat terbang. Hanya perlu waktu dua abad untuk merubah kondisi bumi berikut segala aspek kehidupan manusianya.
Bumi yang makin rentan dan sesak oleh pertumbuhan dalam hitungan milyar penduduknya, akan bereaksi secara alamiah atas tiap perlakuan. Sebagai pemberi kehidupan, ia akan memelihara dengan rasa sayang kepada manusia yang merawatnya dengan kepedulian. Bumi memberi oksigen melalui paru-paru dunia berupa hutan pedalaman Kalimantan, dan atmosfirnya membungkus aman setiap jengkal laut dan daratan dari terjangan ultraviolet mematikan. Bumi adalah alam, yang harus dimanfaatkan secara bijak oleh penghuninya yakni manusia. Namun ketika manusia semakin ceroboh saat mengeksploitasi bumi, hutan terus dibakar dan punah, polusi memperbesar lubang ozone, semua akan berujung kepada bencana.
Manusia memang dapat membunuh dirinya, berikut seluruh isi kehidupan di bumi. Alam dapat merana walau ia tak pernah murka dan balas menyakiti manusia. Maka manusialah yang harus bertindak, melalui sikap kepedulian dan lebih berpihak kepada alam. Tidak ada kata terlambat, mulailah memberikan rasa sayang untuk memelihara persada dan kehidupan. Ada banyak cara, hal sederhana seperti hemat energi, penghijauan, maupun program eco-trend berupa 3 R yakni Reuse, Reduce, Recycle. Siapa yang akan memulai untuk kebaikannya sendiri (*)Untuk Majalah Varia Edisi Let's Go Green 2008
SMA Santo Paulus - Pontianak.