

Memang tampil dgn koreografi yg yahud di film, berikut dramatisir seperlunya agar optimal. Tinjauan pada strategi tempur yg amat efektif untuk pertarungan jarak pendek ('mano a mano', alias duel satu lawan satu, face to face). Maka dapat kubayangkan formasi rapat Sparta didukung perisai menutupi seluruh depannya adalah serupa ketangguhan tank Jerman di Perang Dunia 1. Begitu solid dan unity, juga 'badak' tak tertembus untuk memukul lawan, serta fleksibel untuk 'menyerang' tanpa keluar dari formasi. Fleksibilitas ini memungkinkan pembagian konsentrasi pada barisan depan sbg 'pembuka jalan' atau pemecah formasi lawan, didukung pasukan di belakangnya sbg eksekutor ato penjagal mematikan tiap lawan yg berantakan itu. Jika dianalogikan dalam sepak bola, Barcelona pernah melakukan hal sama dan patut dikenang. Yakni skenario bola mati di muka gawang lawan, Xavi mengambilnya, Pique mengganggu defender bahkan kiper lawan, lalu Puyol dari tempat jauh tak terkawal sbg eksekutor. Setidaknya dua peristiwa besar telah mencatatnya, pada El Clasico 2009 dan semi final Piala Dunia 2010.
Frank amat terkesan saat pertamakali melihat filmnya di usia 5 taon, sekaligus merubah konsepnya mengenai 'pahlawan'. Kisah Leonidas yg dramatis sekaligus menggugahnya, bahwa 'kenapa justru si orang baik harus berujung pada kematian serta tragis?'. Perenungan ini sekaligus membedakan konsep pahlawan menurut Stan Lee misalnya, sbg bapak komik super hero semacam Spiderman, Fantastic Four, yg sama menekankan unsur kemanusiaan namun menyelesaikan masalah dgn hal di luar kemampuan manusia. Makna sosok hero menjadi bias sekaligus harus identik dgn kemenangan yg subjektif. Bila kematian menjadi simbol kekalahan dan sang pemenang harus hidup, seharusnya dilepaskan dari atribut pahlawan. Karena manusia mana sih yg immortal alias gak bisa mati? Untuk menjembatani makna 'hitam dan putih' itu, Frank memberi aksen warna pada '300' sekaligus membedakannya dgn aspek noir pada empat karakter monochrom di film 'Sin City'.

Gerard Butler sbg Leonidas, cukup apik dan ekspresif dalam film 'Phantom of the Opera' juga dikenal sbg aktor Inggris berlatar drama. Namun tuntutan penampilannya untuk film '300', dia gak perlu mendalami karakter yg kompleks untuk stereotip di film laga. Jadi yg perlu dia benahi adalah 'body working' terutama mengoptimalkan six pack-nya apalagi sepanjang film kudu telanjang dada. Eksplorasi aktingnya lebih berupa koreografer tempur serta membiasakan diri untuk berakting tanpa background selain blue screen. Jika ingin diperbandingkan antara film '300' dgn laga sejenis film 'Gladiator' dimana Russel Crowe mendapat Oscar sbg Romulus, konteksnya agak berbeda. Skenario '300' lebih membutuhkan peran secara kolektif, khususnya menjelaskan makna angka '300' (Spartan) yg harus berhadapan dgn Persians dalam skala huge numbers. Jadi kalau akting Butler dicibir kaku, mungkin akibat ototnya yg kudu kaku mengeras.
