Sepak bola adalah sebentuk agama, rasanya bisa dijelaskan. Gak terlalu berbeda dgn prosedur cara mengisi kolom di KTP, yg cuma buat kepentingan administratif dan terpakai saat razia. Tinjauan ini dalam kerangka sbg status, dalam hal ini adalah administrasi demografis. Belum ke ranah berikutnya seperti soal keyakinan termasuk kepentingan personal maupun kolektif, yg mana aspek itupun terdapat di sepak bola. Maka sepak bola menjadi agama, akan lebih gampang dincerna jika anda dapat meninjaunya secara sepak bola pula. If you know what I mean.
Sebagaimana salah satu sistem dari tiap agama yg memiliki umat berikut kumpulannya, sepak bola juga terdiri dari dia atau mereka yg beragam. Selanjutnya kita sebut saja dalam kata jamak 'mereka', yg termasuk mewakili individu. Dari mereka itu ada yg 'nyante agamanya' karena menganggap sepak bola cuma perihal lelaki tolol yg kesana kemari ngerebutin satu bola, ato sbg tontonan suntuk di depan TV. Perkara nama klub sepak bola, nama pemainnya, strategi, hingga jadwal, gak jadi masalah. baginya sepak bola hanya tontonan, ato ngasih tau kalo dia sudah baca koran tentang olah raga. Maka umat yg begini biasanya dijuluki follower, ato abal2 tukang nimbrung doang. Kalaupun mereka nonton bola, gak lebih seperti ke tempat ibadah karena memang waktunya beribadat atau mengantarkan keluarganya. Gak lebih, sehingga kadar beragamanya bisa diragukan walau gak bisa disebut 'atheist'.
On the other hand, ada pula umat yg serius termasuk khusus buat agamanya. Selain menghadiri kebaktian saat klub mengadakan sakramen dan kidung pujian, juga kontinyu menyimak falsafah dan kotbah nabi. Mereka paham sejarah dan filosofi sepak bola termasuk hal kesebelasannya, formasi berikut starting eleven, jadwal prioritas dan strategi tertentu, hingga ikut mengkritisi transfer pemain dan tentu saja pernik khas berupa merchandise. Mereka juga terlibat dalam forum berkala dari tiap level komunitas berikut hirarkisnya, setidaknya sbg members serta membayar iuran. Kebaktian bersamapun terjalin sistematis di tempat yg tetap plus atributnya melalui no-bar, tentu memiliki kiblat masing2 entah ke liga tertentu berikut tempat ibadah utama seperti ke Anfield, Cam Neu, San Siro, dan lainnya. Kondisi ini mewakili mereka yg taat pada agamanya serta rutin beribadat minimal seminggu sekali.
Masih dalam konteks beragama, golongan umat yg serius sepak bola inipun bisa dibagi dua berdasarkan aplikasinya. Mereka yg menjadi fanatik dan cuma bisa melihat klubnya sbg yg terbenar, tentu hanya perduli pada agama dan nabinya berikut ritualnya. Bahkan terjadilah semacam sekte hingga kasta pada level komunitas agama yg sama, menjadi lebih ekslusif malah terkadang menjadi radikal. Hal ini yg dikenal dgn contoh sebutan kaum Liverpudlian buat agama The Reds berikut turunannya seperti Big Reds sbg manajemen liverpudlian untuk di Indonesia. Kemudian ada kaum Milanisti bagi agama AC Milan, The Culos (harafiah : pantat) sbg pengikut Azulgrana (Barcelona), dan berbagai sekte lainnya yg memiliki corak dan eksistensi tersendiri. Maka menjadi wajar jika terdapat ekslusivisme berikut fanatisme pada tiap agama sepak bola yg sekaligus mengakomodir kebutuhan para umatnya.
Para umat ini dapat mengaktualisasikan diri sbg bagian dari klub sekaligus menjadi ujung tombak bagi klubnya lebih dari sekedar fans. Baik secara kolektif maupun individual, sbg identitas khusus yg akan membedakan tiap agama dalam sistem kepercayaan di sepak bola. Tak heran jika the Kop akan toleran kepada umat lainnya, sekaligus bisa teramat anti kepada tim berikut pendukung Manchester United. Begitupun situasi bagi para umat the Culos-Barca, yg alergi berat pada penganut Los Blancos (Real Madrid) terutama akan berpuncak di tiap pertempuran abadi mereka sbg ritual tak terpisahkan pada agenda El Clasico. Bagi fanatikun model beginilah akan selalu sengit terutama pada rivalitas derby, hukumnya lebih dari sekadar aplikasi 'agamaku ya agamaku, dan agamamu itu agamamu'. Fanatisme selalu mengarah kepada pembenaran yg absolut satu pihak sekaligus perseteruan tanpa ujung.
Jika sudah begini pan jadi lebih jelas. Agama liverpudlian gak pernah bisa menghargai apalagi mengakui eksistensi Manchester United secara klub termasuk komunitasnya. Dijadikannya nihil, dan kedua pihak saling bikin seolah 'gak ada'. Walau faktanya mereka saling bertempur ketika berkumpul di satu stadion mewakili klubnya, entah saat home ataupun away. Rivalitas sengit yg bermuara pada prestasi dan kemashuran tim, faktor inilah yg mengkondisikannya demikian. Semakin kuat dan berharga sang lawan, justru telah menjadi ancaman terbesar sekaligus pula bukan untuk dihilangkan. Seperti Batman butuh Joker, atau Superman dgn Lex Luthor, paradox demikian malah menunjukkan betapa saling hebatnya mereka apalagi saat menaklukan rival yg sebanding, bukan hanya mampu memukul kelas kroco.
Maka istilah yg lebih tepat bagi pihak yg saling benci tapi rindu, adalah saling meng'athiest'kan. Mereka sejatinya saling membutuhkan, sekaligus coba meng-ignore walaupun gak mungkin. Liverpool butuh Everton untuk status legendaris derby, namun keduanya saling mengingkari eksistensi sang rival dalam bentuk atheis, 'agamamu bukan agamaku'. Bukankah yg telah menciptakan figur atheis justru muncul dari mereka yg mengaku beragama? Dan mereka gunakan untuk menyebut kelompok lain di luar agamanya berikut tuhan dan sistem keyakinan mereka. Serta ideologi ini akan terus tertanam dan menjadi komoditas setiap klub untuk mempertahankan eksistensi berikut keberlangsungan hidupnya, tentu termasuk para pembesar dan koleganya. Serta atas nama kompetisi, agama sepak bola akan terus berputar sembari menjaring umat dan melahirkan penerus ajarannya.
Kemudian ada golongan umat lain, mestinya berbeda dan lebih sekular. Misalnya mereka sbg liverpudlian, namun juga menikmati bahkan fasih berbicara tentang tim lain seperti Everton juga Barcelona. Mereka gak sungkan membicarakan 'musuh'nya, bahkan membahas si kafir misalnya ManUnited berikut para pendukungnya. Sebaliknya, para pemain hingga pembesar klub terutama pendukung ManUnited, juga banyak yg fasih serta dapat menikmati pembicaraan dan laga tentang The Reds, walau termasuk telah mengkafirkan liverpudlian pula. Namun mereka inilah yg pada akhirnya dapat bergabung tenteram di satu ruangan, bersama tercerahkan dan menikmati kebaktian saat para nabi mereka saling 'adu sabda' di lapangan atas nama sepak bola.
Ritual-ritual demikian akan terus berjalan saban minggu, di tiap musim hingga berganti tahun. Dari level klub, liga, ajang negara, kontinental hingga antar belahan dunia. Dengan setia diikuti para peziarahnya, juga berlaku dinamis berupa umatnya yg keluar maupun masuk sbg anggota baru. Ya nama juga manusia, mahluk dgn kemampuan mengorganisir termasuk merekayasa, secara individu maupun kolektif. Maka bolehlah jadi umat yg mualaf, selain banyak pula atheisnya. Untuk kaum penjudi yg telah menggunakan agama sepak bola untuk kepentingan tersendiri, mungkin bolehlah dianggap wakil Lucifer.
-duke-