Geger pasca pengumuman BPOM diikuti penarikan beberapa produk import yang tercemar bahan kimia baru-baru ini, juga meresahkan banyak kalangan di Kalbar. Para konsumen menjadi khawatir saat membeli makanan dan minuman favorit yang seharusnya telah memenuhi standar keamanan. Sementara produsen makanan menegaskan tidak semua merek yang beredar di Kalbar adalah import, serta selaku distributor resmi hanya mengedarkan produk dengan standar mutu dan disetujui BPOM berupa kode pembuatan.
Dilain pihak, pemerhati sosial telah mensinyalir banyaknya komoditas impor ilegal yang semakin merambah pasaran lokal. Salah satu faktor kemudahan peredarannya karena wilayah Kalbar memang berhubungan langsung dengan negara tetangga, dimana terdapat banyak titik lintas batas melalui jalur daratan maupun perairan. Tokoh masyarakat turut menegaskan perlunya pengawasan perbatasan negara agar lebih diperketat, terutama guna mencegah kasus perdagangan gelap maupun lolosnya produk ilegal yang kian marak terjadi.
Ketika istilah perbatasan negara muncul sebagai wacana publik, memang relevan dengan berbagai aspek hidup keseharian bagi masyarakat Kalbar. Sejak dulu telah terjalin interaksi kekerabatan antara penduduk dua negara serumpun ini maupun aktivitas lintas geografis melalui pesisir, daratan hingga pedalaman. Hingga saat resmi dibukanya Pos Pemeriksaan Lintas Batas di Entikong, telah merupakan terselenggaranya aspek kedaulatan serta keberhasilan diplomasi antar negara termasuk penegasan komitment kerjasama bilateral kewilayahan.
Sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara tetangga sepanjang 966 Km daratan, Kalbar memiliki kebijakan pembangunan khusus pada kawasan perbatasan antar negara. Realisasinya berupa penanganan Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) yang meliputi aspek Pabean, Imigrasi, Karantina, serta Keamanan dan Pertahanan (CIQS) untuk diarahkan pada lima wilayah kabupaten perbatasan melalui lima Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) prioritas yakni Aruk (Sambas), Jagoi Babang (Bengkayang), Entikong (Sanggau), Jasa (Sintang), dan Nanga Badau (Kapuas Hulu).
Maka dalam mencermati eksistensi berikut penanganan perbatasan negara yang kompleks serta multi dimensi tersebut, Pemerintah RI telah membuat konsepsi pengelolaan wilayah perbatasan melalui Perpres Nomor 7/2005 mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004 – 2005. Dimana arah kebijakan dan pengembangan wilayah perbatasan negara telah mengalami perubahan orientasi yakni dari pemahaman pembangunan terpusat (centralization) sehingga dikenal wacana penanganan kawasan belakang (inward looking), selanjutnya menjadi paradigma desentralisasi berupa halaman terdepan negara (outward looking). Untuk penanganan wilayah perbatasan laut terutama penekanan pada pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, telah diformulasikan melalui Perpres Nomor 78/2005.
Kesejahteraan, Keamanan & Berwawasan Lingkungan
Pontianak Post, Kamis 06 November 2008
Karakteristik kebijakan dalam perspektif pemerintahan ini memiliki strategi penanganan menurut tinjauan geo-politik, geo-ekonomi maupun geo-regional, serta pengaturan menurut kepastian hukum. Namun strategi utamanya adalah sebagai akselerasi pembangunan yang komprehensif dalam mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah terdepan sebagai gerbang etalase negara. Penduduk administrasi perbatasan merupakan unsur pertahanan dan keamanan paling efektif juga alamiah untuk berhadapan langsung dengan negara tetangga, sekaligus diakui hukum internasional melalui doktrin Penguasaan Efektif (effective occupation). Yakni berupa pemberdayaan dan ketahanan masyarakat yang sejahtera dalam konteks administratif (occupatio) melalui tindakan pembangunan, berikut regulasi terkait terhadap penanganan status wilayah perbatasan.
"Kehadiran orang-orang Indonesia yang berkarya serta tumbuhnya kegiatan perekonomian di wilayah perbatasan adalah wujud nyata kedaulatan negara". Demikian pengantar dari Menhan RI Juwono Sudarsono dalam pembukaan Seminar Kebijakan Penanganan Terpadu Wilayah Perbatasan, yang diselenggarakan oleh Departemen Pertahanan RI pada Rabu 5 Agustus 2008 di Jakarta.
Sebuah kearifan dalam membangun strategi pertahanan negara secara elegan, serta keterpaduan cara pandang mengenai penanganan wilayah perbatasan yang multi dimensi termasuk aspek perencanaan hingga penganggaran terkait. Karena pada awalnya, sejarah persoalan wilayah perbatasan negara hanya menjadi wahana ekslusif politik dan badan pertahanan terutama dalam mempengaruhi isu kerjasama maupun konflik bilateral. Kini seiring perkembangan jaman serta tuntutan globalisasi, isu pengelolaan wilayah perbatasan negara telah semakin kompleks dan bersifat multilateral sekaligus lebih melibatkan elemen masyarakat secara luas.
Maka, selain isu penanganan perbatasan Kalbar yang berkaitan dengan kedaulatan berupa penegasan titik batas (demarcation) dan wilayah kenegaraan (delimitation), juga masalah akibat rendahnya tingkat kesejahteraan penduduk di perbatasan. Kendala ini beresiko menurunkan tingkat pemberdayaan (decadence) masyarakat melalui prilaku kriminal, maupun mengikis aspek ketahanan wawasan bernegara. Beberapa kasus kriminal di lintas wilayah perairan maupun daratan perbatasan adalah penyelundupan manusia dan barang, pencurian kayu dan ikan, bajak laut berikut penjarahan muatan kapal tenggelam dan situs purbakala, perdagangan gelap termasuk peredaran liar seperti kasus produk makanan import yang tercemar bahan kimia, hingga praktik pencucian uang dan jaringan kejahatan internasional.
Masalah tersebut terasa sulit diatasi karena kendala rentang kendali pemerintahan untuk menjangkau sebaran penduduk berbanding luas wilayah, serta keterbatasan aksesibilitas berupa penyediaan sarana dan prasarana publik. Salah satu akibatnya adalah eksploitasi sumber daya alam dalam jangka pendek namun telah menjadi penghasilan utama bagi masyarakat perbatasan sekaligus membawa mereka lebih akrab dengan pasar dan mata uang negara tetangga. Akumulasi beberapa masalah ini yang selanjutnya dapat mengikis rasa nasionalis berkebangsaan serta prilaku apatis masyarakat perbatasan dalam ketahanan bernegara.
Menurut data Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (2005), terdapat tiga kabupaten perbatasan di Kalbar berikut mayoritas kawasan perbatasan di Kaltim, NTT dan Papua yang dikategorikan tertinggal. Posisi kawasan perbatasan pada umumnya jauh dari pusat pemerintahan dan pertumbuhan sosial ekonomi, sehingga kerap terjadi ketimpangan pembangunan juga lemahnya penegakkan hukum. Melalui paradigma penanganan wilayah perbatasan sebagai beranda depan negara, adalah komitmen pemerintah berupa integrasi pembangunan yang telah mencakup aspek kesejahteraan (prosperity), aspek keamanan (security), serta aspek berwawasan lingkungan (environment).
Ketika penduduk administrasi perbatasan telah merupakan unsur pertahanan dan keamanan paling efektif untuk berhadapan langsung dengan negara tetangga, maka pemberdayaan kesejahteraan menjadi prioritas. Misalnya penduduk paling utara Kalbar yakni di dusun Maludin desa Camar Bulan, mereka lebih mudah dan akrab bahkan terjalin ikatan keluarga dengan penduduk dusun Telok Melano di Sarawak. Selain kemudahan faktor aksesibilitas dan fasilitas telah terjalin, di lain pihak mereka sulit berinteraksi dengan Liku sebagai ibukota kecamatan Paloh yang harus ditempuh dengan kapal selama empat jam cuaca normal mengarungi laut Natuna.
Sebagai wilayah administratif yang berbatasan negara berupa laut (adjanction state) dan daratan, juga menjadi rawan konflik kedaulatan menyangkut batas darat berupa zona status quo di desa Camar Bulan akibat tidak sesuai perjanjian bilateral 1891. Serta sengketa menyangkut wewenang laut (overlapping claim) di kawasan Gosong Niger (2006) yang secara administratif terletak 5,5 mil laut dari Tanjung Datuk desa Temajuk serta menciderai perjanjian bilateral tentang Landas Kontinental 1969 dan telah diratifikasi melalui Keppres 89/1969. Kasus sengketa ini selain menyangkut aspek kedaulatan, juga mempengaruhi aspek kesejahteraan sehingga diperlukan penanganan kebijakan wilayah perbatasan daratan dan maritim yang terpadu.
Meskipun Kalbar memiliki 212 pulau pesisir dan pedalaman menurut Verifikasi Toponimi 2008, namun tidak memiliki pulau terluar menurut Perpres Nomor 78/2005 berikut daftar lampirannya. Dengan meninjau kasus wilayah yang berbatasan laut dan daratan termasuk sengketa kawasan Gosong Niger, maka dibutuhkan kebijakan nasional untuk mendukung kearifan lokal secara menyeluruh dalam percepatan pembangunan wilayah perbatasan (continuous presence), pembangunan kesejahteraan masyarakat (effective occupation), serta pembangunan berwawasan lingkungan (environment). Antara lain berupa penanganan kawasan perbatasan dalam konsep Border Area Development sebagai sistem kegiatan terpadu multi sektor, berikut sinergi pembiayaan anggaran pusat dan daerah melalui Dana Alokasi Khusus Perbatasan. (*)
Ir. Dionisius Endy Vietsaman, MMP2 komentar:
- endyonisius mengatakan...
-
see also --> http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=8753
- 21 Juli 2010 pukul 21.59
- rai mengatakan...
-
60 th kota Pemangkat dan desa sekitarnya gak ada pembangunan, pada hal daerah ini
ada pelabuhan yg. strategis dan hasil laut berlimpah, mohon pemerintah pusat untuk
cari apa yg. telah terjadi disini ???Kenapa warga sini harus hidup miskin dan kerja di Malaysia???Birokrasi fungsinya apa??? - 11 Juli 2015 pukul 21.28