Follow me on Twitter RSS FEED

ARWANA Terkait Management Authority Spesies Akuatik CITES

Posted in

Indonesia termasuk Kalimantan Barat dikenal sebagai wilayah dengan keanekaragaman hayati terlengkap di dunia, endemik kaliber tinggi. Kadar endemisme yang diperkaya keunikan seperti pamor ikan Arwana Merah aka Silok alias Scleropages Formosus, menjadikan Kalbar berpotensi strategis dalam perdagangan fauna dunia bahkan pemasok utama. Arwana Merah memang hanya berasal dari Kalbar sebagai plasma nuftah lokal Khatulistiwa yang memiliki grade tertinggi, sekaligus masuk Appendiks I CITES sebagai satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan Internasional. Sementara ijin CITES yang dikeluarkan pihak Kementerian Kehutanan selaku Management Authority di Indonesia konon berkisar 40, ternyata didominasi 25 lembaga atau perusahaan yang memiliki ijin dari Kalbar. Kesemuanya terdaftar khusus untuk menangani ikan Arwana sejak awal tahun 80an hingga kini dalam bentuk penangkaran, namun prospek menggiurkan beromzet puluhan juta per ekor rupanya gagal mencipratkan fulus bagi pemerintah daerah berupa PAD. Sementara jika seorang pengusaha Arwana lokal ditanyakan pendapatnya mengenai kontribusi daerah, dia mengaku bersedia walau kesal karena pemerintah daerah seolah pasif bahkan tidak memahami komoditas Arwana kecuali sigap mengutip retribusi.
PRA ANGGAPAN :
Bagaimana prospek pemanfaatan ikan Arwana di Kalbar khususnya untuk Kabupaten Kapuas Hulu menurut pelaksanaan CITES, serta terkait prospek komoditas ikan non konsumsi atau ikan hias air tawar versi Management Authority Spesies Akuatik dari usulan Kementerian Kelautan dan Perikanan? Termasuk kontribusi Arwana sebagai aset unggulan bagi peningkatan pendapatan daerah Kalbar khususnya demi kesejahteraan masyarakatnya.
FAKTA YANG MEMPENGARUHI PERSOALAN :
1.1. CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) merupakan perjanjian global dengan fokus pada perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan Internasional yang tidak sesuai dengan ketentuan berlaku, yang mungkin akan membahayakan kelestarian tumbuhan dan satwa liar tersebut. Misi dan tujuan konvensi adalah melindungi tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional spesimen tumbuhan dan satwa liar yang mengakibatkan kelestarian spesies tersebut terancam.
1.2. Sekretariat CITES berkedudukan di Jenewa Swiss yang secara administratif berada di bawah Executive Director of UNEP (United Nations Environment Programs).
1.3. Ketentuan CITES menetapkan bahwa tiap negara anggota harus menunjuk satu atau lebih Otoritas Pengelola (Management Authority) dan Otoritas Keilmuan (Scientific Authority).
1.4. Indonesia telah meratifikasi CITES melalui Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978, selanjutnya membawa konsekuensi perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang dilaksanakan pemerintah Indonesia harus mengikuti tiap ketentuan CITES.
1.5. Menurut Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 Pasal 65, pengaturan pemanfaatan termasuk perdagangan tumbuhan dan satwa liar diatur dan dilaksanakan oleh Kementerian Kehutanan yang ditetapkan sebagai Otoritas Pengelola (Management Authority) serta LIPI selaku Otoritas Keilmuan (Scientific Authority) pelaksana CITES.
1.6. Otoritas Pengelola bertanggung jawab menjalankan aturan konvensi termasuk aspek administratif dari pelaksanaan CITES berupa produk dan pelaksanaan legislasi, penegakan hukum, penerbitan izin, laporan tahunan dan dua tahunan, serta berkomunikasi dengan Otoritas Keilmuan.
1.7. CITES menetapkan 3 kategori spesies dengan istilah Appendiks, yaitu Appendiks I berisi daftar seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan Internasional. Appendiks II berisi daftar spesies yang tidak terancam kepunahan, tapi mungkin terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan, dan Appendiks III berisi daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi di negara tertentu dalam batas kawasan habitatnya, dan suatu saat peringkatnya bisa dinaikkan ke dalam Apendiks II atau Appendiks I.
1.8. Mekanisme kontrol pada CITES adalah melalui sistem perijinan standar CITES yang diterbitkan oleh Management Authority, dan ditegakkan oleh penegak hukum seperti Pabean (Bea Cukai) dan Kepolisian, termasuk Badan Karantina. Kelembagaan di luar Kementerian Kehutanan yang berperan strategis sebagai mitra kerja dalam pengendalian pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar sesuai tugas dan kewenangan secara institusi, adalah :
a. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), berperan sebagai otoritas keilmuan dan memiliki wewenang untuk memberikan rekomendasi jumlah serta jenis tumbuhan dan satwa liar yang dapat diperdagangkan. Hal ini menjadi dasar bagi Direktur Jenderal PHKA dalam pembutaan keputusan penetapan kuota, dan melakukan kontrol atas perdagangan tumbuhan dan satwa liar.
b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan yang memiliki wewenang dalam melakukan pemeriksaan dokumen ekspor para eksportir. Dokumen tersebut berupa Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar ke Luar Negeri (SATS-LN) / CITES Permit, yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal PHKA. Fokus pemeriksaan diantaranya meliputi keaslian dokumen, kebenaran isi dokumen berupa jumlah dan jenis spesimen yang dikirim, masa berlaku dokumen, serta pembubuhan legalitas pada dokumen SATS-LN.
c. Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian yang memiliki wewenang melakukan tindak karantina untuk memeriksa kesehatan jenis tumbuhan dan satwa liar serta kelengkapan dan kesesuaian spesimen dengan dokumen.
d. Pusat Karantina Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan berwenang melakukan tindak karantina untuk memeriksa kesehatan jenis ikan serta kelengkapan dan kesesuaian spesimen dengan dokumen.
e. Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jajaran Kepolisian yaitu Pejabat Penyidik Kepolisian yang memiliki wewenang melakukan penyidikan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, termasuk perdagangan illegal tumbuhan dan satwa liar. Hal ini dilakukan bersama-sama dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu di lingkungan Kementerian Kehutanan.
f. Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, yang memiliki wewenang dalam memfasilitasi legalitas usaha di bidang perdagangan tumbuhan dan satwa liar kepada eksportir, meliputi penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), dan penyiapan kebijakan untuk menstimulasi iklim usaha yang baik di dalam negeri dan ke luar negeri. Disamping itu juga menetapkan harga patokan tumbuhan dan satwa liar, sebagai dasar pungutan untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) terhadap perdagangan tumbuhan dan satwa liar sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
1.9. Jumlah pelaku penangkar atau pembudidaya ikan Arwana di Kalbar yang tersebar antara lain di Kapuas Hulu, Sintang, Sekadau, Landak, Kubu Raya, Pontianak hingga Ketapang, ternyata sangat bervariasi. Menurut data dari Balai KSDA Pontianak hingga tahun 2011 tercatat 105 penangkar dan 22 eksportir Arwana. Sementara menurut Badan Karantina Ikan Pontianak hingga 2010 terdapat 90 penangkar dan 60 pengusaha Arwana berijin, serta data yang dihimpun Dinas Kelautan dan Perikanan Prov. Kalbar sejumlah 143 pengusaha dan 22 pemilik ijin ekspor Arwana hingga 2010.

TELAAHAN :
2.1. Berdasarkan pertemuan The 15th Conference of the Parties (CoP) on Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) di Lausanne - Switzerland 1989, jenis Arwana Merah (Scleropages Formosus) masuk sebagai Appendiks II yang berarti masih boleh dimanfaatkan atau diperdagangkan sebagai produk budidaya atau penangkaran berdasarkan system quota melalui lisensi dari Otoritas Pengelola Negara bersangkutan.
2.2. Berdasarkan SK Menteri Pertanian No.716/Kpts/Um/10/1980, SK Dirjen PHPA No. 07/Kpts/DJ-VI/1988, Instruksi Dirjen Perikanan No.IK-250/D.4.2955/83K, SK Menteri Kehutanan No.516/Kpts/II/ 1995 dan PP No.7 tahun 1999, jenis Arwana Merah (Scleropages Formosus) berhasil "naik kelas" masuk Appendiks I - CITES yang berarti tidak boleh dimanfaatkan serta diperdagangkan secara Internasional dalam bentuk apapun.
2.3. Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, junto Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 mengamanatkan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menetapkan jenis ikan yang dilindungi. Definisi ikan yang dilindungi menurut penjelasan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan adalah jenis ikan yang dilindungi berdasarkan peraturan perundang-undangan, termasuk jenis ikan yang dilindungi secara terbatas berdasarkan ukuran tertentu, wilayah sebaran tertentu atau periode waktu tertentu, dilindungi berdasarkan peraturan perundang-undangan dan juga dilindungi berdasarkan ketentuan hukum Internasional yang telah diratifikasi seperti penetapan Appendiks I,II dan III menurut CITES.
2.4. Sebagai amanat UU No. 31 / 2004, UU No. 27 / 2007, serta Peraturan Pemerintah No. 60 / 2007, kewenangan pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) berada pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.
2.5. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 melalui Pasal 53 menyatakan Kementerian yang bertanggung jawab di bidang perikanan ditetapkan sebagai Otoritas Pengelola (Management Authority) konservasi sumber daya ikan, serta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ditetapkan sebagai Otoritas Keilmuan (Scientific Authority), atau pelaksana CITES pada biota perairan termasuk dalam Appendiks.
2.6. Selanjutnya perlu tindak lanjut berupa pengalihan kewenangan pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) serta pembagian Otoritas Pengelola (Management Authority) konservasi sumber daya ikan (Aquatic Species) dari Kementerian Kehutanan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai instansi teknis yang memiliki visi dan misi serta kewenangan di bidang kelautan dan perikanan, termasuk di dalamnya pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungannya sehingga pengelolaan kawasan konservasi perairan merupakan bagian tidak terpisahkan dari pengelolaan perikanan secara berkelanjutan.
2.7. Melalui Berita Acara Serah Terima Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam No. BA. 01/Menhut-IV/2009 dan BA. 108/MEN.KP/III/2009 tanggal 4 Maret 2009 di Gedung Manggala Wanabakti Jakarta, resmi dilaksanakan pengalihan kewenangan pengelolaan 8 kawasan dari Menteri Kehutanan M.S. Kaban kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi.
2.8. Pada Maret 2010 di Doha Qatar, Indonesia termasuk delegasi Kementerian Kelautan dan Perikanan mengikuti Pertemuan Konferensi Para Pihak ke-15 CITES (The 15th Conference of the Parties on Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), namun belum berhasil mendapatkan keputusan mengenai usulan Otoritas Pengelola konservasi sumber daya ikan (Aquatic Species) berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 60 Tahun 2007 pada Pasal 53.
2.9. Adapun pembagian Otoritas Pengelola pemanfaatan termasuk perdagangan tumbuhan dan satwa liar dari pihak Kementerian Kehutanan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan berupa konservasi sumber daya ikan masih dalam proses penyelesaian.
2.10. Diharapkan pada Konferensi Para Pihak ke 16 CITES (The 16th CoP on CITES) yang direncanakan bertempat di Bangkok Thailand 2013, telah terdapat legalitas mengenai Otoritas Pengelola Aquatic Species oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan RI.
KESIMPULAN :
3.1. Pengembangan industri ikan non konsumsi termasuk ikan hias (air tawar) antara lain berupa Arwana Red (Scleropages Formosus) masih terkendala akibat kebijakan Otoritas Pengelola CITES karena belum resmi menjadi kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 pada Pasal 53.
3.2. Permasalahan kewenangan telah menjadi kendala bagi Dinas Kelautan dan Perikanan di daerah (tingkat provinsi maupun kabupaten / kota) dalam mengamanatkan UU No. 31 / 2004 junto UU No. 45 / 2009 maupun UU No. 27 / 2007 termasuk turunannya terutama Peraturan Pemerintah No. 60 / 2007, antara lain kesulitan dalam melaksanakan pembinaan hingga pemberdayaan terhadap penangkaran ikan Arwana selain masih melekat di Badan KSDA Pontianak.
3.3. Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui CITES Indonesia telah mengajukan usulan Otoritas Pengelola konservasi sumber daya ikan (Aquatic Species) kepada Sekretariat CITES di Jenewa Swiss namun belum mendapat balasan formal.
3.4. Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mempersiapkan pelaksanaan Otoritas Pengelola Spesies Akuatik oleh Ditjen Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, didukung Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan terkait pengawasan peredaran jenis ikan dilindungi, serta Badan Karantina Ikan dan Penjaminan Mutu (BKIPM) terkait kesehatan ikan dan lalu lintas peredaran di bandara dan pelabuhan laut.
3.5. Salah satu persiapan berupa Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 04 Tahun 2010 mengenai Surat izin Penangkaran atau Pengembang-biakan Ikan Arwana dan Surat Izin Perdagangan Ikan Arwana diterbitkan oleh Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan.
3.6. Berdasarkan Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2006 tentang Retribusi Izin Usaha Perikanan, maka melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Prov. Kalbar dapat mengenakan Retribusi Usaha Pengiriman Ikan dimana untuk Arwana Super Red dipatok sebesar Rp. 100.000,- per ekor. Serta berdasarkan ketentuan keuangan untuk satu komoditas tidak diperbolehkan dikenakan punggutan dua kali, sehingga jika telah dikenakan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) berarti tidak ada retribusi lagi.
3.7. Beberapa persiapan yang telah dilaksanakan oleh DKP Prov. Kalbar sebagai akselerasi pengembangan produk perikanan non konsumsi termasuk ikan hias (air tawar) berikut Arwana, antara lain :
a. Persiapan pelaksanaan Registrasi dan Verifikasi Unit Penangan Pengolahan Hasil Perikanan Non Konsumsi (UPPN).
b. Pengembangan promosi dan jaringan Pemasaran Produk Non Konsumsi berupa pameran ikan hias, kontes tahunan Arwana tingkat Internasional di Pontianak, sosialisasi dan desiminasi.
c. Rencana pengembangan kawasan berupa Master Plan Perikanan Sei Rengas Kab. Kubu Raya Tahun 2012 sebagai "Etalase Perikanan dan Kelautan Prov. Kalbar" berupa kompleks kegiatan satu lahan secara integrasi antara budidaya - tangkap - pengolahan dan pemasaran – pengawas perikanan, termasuk "reiser" ikan hias air tawar juga Arwana.

Ir. Dionisius Endy, MMP

5 komentar:

Anonim mengatakan...

dulu jadi ikan asin dikampungku..., sekarang dah jadi simbol status cukong

Herjanto Chandra mengatakan...

Salam kenal, Saya penasaran dengan jenis Arowana Super Red Albino yang terjual seharga 1 Milyard di pameran Indonesia Pets Plants Aquatic Expo di Manga Dua tahun 2011. Apakah berasal dari Kalimantan Barat juga? Sejauh yang saya pernah dengar bahwa Malaysia sangat berminat untuk mengambil alih pemasaran Arowana di pasaran Internasional. Pemerintah perlu membuat hak paten Arowana sebagai ikan asli Indonesia ke World Intellectual Properly Organization. Sekian dan terimakasih.

Anonim mengatakan...

Mantaf bos.. semoga tambah bermanfaat bagi masyarakat lokal. Katanya perlu ditanamk microchip utk Sertifikasi yah ?!

arwana super mengatakan...

salam kenal bang. bolehkah saya repost artikel ini?

Unknown mengatakan...

Apakah CITES ada masa berlakunya? Seperti SIUP atau TDP?
Apakah lembaga yang telah mendapatkan CITES sewaktu2 dapat ditarik kembali CITES nya? Terima kasih.

Posting Komentar