

BAB V - PEMANFAATAN
Bagian Kesatu
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir
Pasal 16
# Pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam bentuk HP-3.
# HP-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut.
Pasal 17
1. HP-3 diberikan dalam luasan dan waktu tertentu.
2. Pemberian HP-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mempertimbangkan kepentingan kelestarian Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat Adat, dan kepentingan nasional serta hak lintas damai bagi kapal asing.
Pasal 18
HP-3 dapat diberikan kepada:
a. Orang perseorangan warga negara Indonesia;
b. Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau
c. Masyarakat Adat.
Pasal 19
1. HP-3 diberikan untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.
2. Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang tahap kesatu paling lama 20 (dua puluh) tahun.
3. Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang lagi untuk tahap kedua sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 20
1. HP-3 dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan.
2. HP-3 diberikan dalam bentuk sertifikat HP-3.
3. HP-3 berakhir karena:
a. jangka waktunya habis dan tidak diperpanjang lagi;
b. ditelantarkan; atau
c. dicabut untuk kepentingan umum.
4. Tata cara pemberian, pendaftaran, dan pencabutan HP-3 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

1. Pemberian HP-3 wajib memenuhi persyaratan teknis, administratif, dan operasional.
2. Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kesesuaian dengan rencana Zona dan/atau rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
b. hasil konsultasi publik sesuai dengan besaran dan volume pemanfaatannya; serta
c. pertimbangan hasil pengujian dari berbagai alternatif usulan atau kegiatan yang berpotensi merusak Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
3. Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penyediaan dokumen administratif;
b. penyusunan rencana dan pelaksanaan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan daya dukung ekosistem;
c. pembuatan sistem pengawasan dan pelaporan hasilnya kepada pemberi HP-3; serta
d. dalam hal HP-3 berbatasan langsung dengan garis pantai, pemohon wajib memiliki hak atas tanah.
4. Persyaratan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kewajiban pemegang HP-3 untuk:
a. memberdayakan Masyarakat sekitar lokasi kegiatan;
b. mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat dan/atau Masyarakat lokal;
c. memperhatikan hak Masyarakat untuk mendapatkan akses ke sempadan pantai dan muara sungai; serta
d. melakukan rehabilitasi sumber daya yang mengalami kerusakan di lokasi HP-3.
5. Penolakan atas permohonan HP-3 wajib disertai dengan salah satu alasan di bawah ini:
a. terdapat ancaman yang serius terhadap kelestarian Wilayah Pesisir;
b. tidak didukung bukti ilmiah; atau
c. kerusakan yang diperkirakan terjadi tidak dapat dipulihkan.
6. Pemberian HP-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pengumuman secara terbuka.
Pasal 22
HP-3 tidak dapat diberikan pada Kawasan Konservasi, suaka perikanan, alur pelayaran, kawasan pelabuhan, dan pantai umum.
Hak ini hanya diberikan oleh tiga pejabat publik. Pertama, menteri untuk izin di wilayah perairan pesisir lintas provinsi dan kawasan strategis nasional tertentu. Kedua, gubernur, yang memberikan izin untuk wilayah perairan pesisir sampai dengan 12 mil yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan dan perairan pesisir lintas kabupaten atau kota. Ketiga, bupati atau wali kota, yang berwenang atas izin di wilayah perairan pesisir satu pertiga dari wilayah kewenangan provinsi. Syamsul menjelaskan HP 3 baru dapat diberikan setelah ditetapkan peraturan daerah tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K), dan hanya diberikan di dalam kawasan pemanfaatan umum, dan kawasan strategis nasional tertentu.

Koordinator Program Kiara, Abdul Halim mengatakan Undang-Undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP-PPK), khususnya aturan terkait dengan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 5 Tahun 2008 yang telah direvisi menjadi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 12 Tahun 2009 tentang Usaha Perikanan Tangkap, khususnya atauran terkait dengan klaster perikanan wujud nyata praktik ketidakadilan negara dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan. Hal itu dikemukakannya dalam siaran pers bersama Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Bina Desa Jaringan Advokasi untuk Nelayan Sumatra Utara (Jala), Sarekat Nelayan Sumatera Utara (SNSU), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Forum Masyarakat Peduli Tradisi Penangkapan Ikan Paus (FMPTPIP) Lamalera.
Menurut Sekretaris Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (KP3K) Departemen Kelautan dan Perikanan Sudirman Saad HP3 dapat ditolak atau dicabut apabila akan mengancam kelestarian wilayah pesisir, tidak ada bukti ilmiah dalam pengajuannya serta kerusakan yang terjadi diperkirakan tidak dapat dipulihkan. Sudirman menambahkan selain bisa dicabut apabila para pengusaha atau investor yang mempunyai HP3 dalam menjalankan usahanya dapat menimbulkan kerusakan pada lingkungan, mereka juga dapat dijerat dengan UU No.27/2007. (*)
Oleh Diena Lestari (Bisnis Indonesia)