Follow me on Twitter RSS FEED

Bendungan Raksasa Sarawak

Posted in
Ketika bertemu 'Heinz Terhorst' dari FORCLIME (Forests and Climate Change) di Bandung dalam acara Heart of Borneo, dia langsung mengingatkan bahwa Malaysia tepatnya di Sarawak sedang membangun proyek ambisius berupa beberapa bendungan raksasa. Mega proyek yg terutama untuk memproduksi pasokan listrik tenaga air (turbin) dalam skala kapasitas raksasa pula. Konon terkait erat dgn peruntukan besar jangka panjang sbg lumbung energi Kalimantan, khususnya sbg modal rencana pembangunan kompleks industri-manufaktur yg mayoritas milik dan dimodali pengusaha China. Rencana kompleks multi industri serupa "Silicon Valey" itu diperkirakan menyedot kebutuhan energi mencapai kapasitas 7.000 Megawatt hingga tahap penyelesaian menyeluruh di tahun 2020. Bahkan berikut cadangan yg diperhitungkan masih bisa memenuhi kebutuhan listrik rumah tangga di seluruh pulau Borneo, alias bisa ditawarkan dan dijual ke empat Provinsi di Kalimantan Indonesia.
Sekilas berbicara mengenai penawaran listrik antar negara, Indonesia telah menyepakati Memorandum Saling Pengertian mengenai Jaringan Transmisi Tenaga Listrik ASEAN (Memorandum of Understanding on the ASEAN Power Grid) sbg hasil perundingan delegasi negara ASEAN di Singapura tgl 23 Agustus 2007. Serta Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2008 Tentang Pengesahan MoU ASEAN Power Grid dimaksud. Ditindaklanjuti dgn penerapan sistem interkoneksi lintas negara ASEAN, berupa rekomendasi 4 proyek yg akan dikembangkan bahkan telah dilaksanakan yakni pada: a) Sumatera (RI) dgn Penisular (Malaysia); b) Sumatera dgn Singapura; c) Batam dgn Singapura; dan, d) Kalimantan Barat dgn Sabah/Sarawak (Malaysia) yg telah membeli listrik dari Sarawak Energy sebesar 200 kVA untuk Sajingan Sambas, 400 kVA untuk Badau Kapuas Hulu. Jadi rada jelas buntutnya, melalui MoU telah berjalan transaksi jual beli listrik antar negara. Namun yg perlu dikritisi lanjut, kelihatannya lebih sepihak berbunyi Indonesia yg beli listrik sementara negara tetangga sbg penjual. Indonesia tengah disetrum.
Mungkin akan lebih menarik, kenapa dan bagaimana para negara tetangga yg relatif sama berkembang namun sanggup tampil sbg produsen energi? Apakah mereka lebih maju atau memiliki sumber pembangkit energi lebih berlimpah? Terutama negara bagian Sarawak yg nota bene gak jauh berbeda dgn kondisi alam Kalbar yg justru memiliki cadangan Batubara hingga Uranium berlimpah? Sarawak malah telah membuat Penataan Ruang yg siap menuju negara industri melalui dukungan sumber energi mandiri, berbeda dgn draft RTRW Kalbar yg masih saja berkutat dgn status lahan terutama mengakomodir pengembangan monokultur (kelapa sawit) untuk jangka 20 tahun ke depan. Belum lagi masalah penetapan lahan konservasi dgn jargon Green Economic Development versus status lahan adat berikut keberlangsungan komunitasnya. Isu ini dapat merembet kepada sebuah kawasan khusus yg disebut Jantung Kalimantan atau Heart of Borneo, yg telah melibatkan 3 negara di Kalimantan dalam sebuah konsensus trilateral bersama. Apa saja urusannya?
Kembali kepada mega proyek di Sarawak terkait penyediaan energi listrik. Mereka coba melakukan pertimbangan ekonomis untuk membuat kompleks industri terpadu berikut pasokan energi alternatif dari sungai (renewable sources), dianggap pilihan termurah dan potensial. Faktor eksisting sungai besar yg saling terhubung, relatif gak pernah kering dan 'masih perawan' adalah keuntungan utama. Walau terdapat resiko yg teramat massive dan sistemik, seperti deforestrasi, peralihan fungsi lahan, penggusuran penduduk asli berikut budayanya, berupa eksploitasi terhadap sumberdaya alam di Sarawak. Lebih celakanya, sumber muara beberapa sungai2 itu berawal dari pegunungan Muller yg juga menara mata air bagi kelestarian tiga sungai utama Kalimantan di Indonesia, yakni hulu sungai Kapuas (Kalbar), Barito (Kalteng) dan Mahakam (Kaltim). Itulah jantungnya Kalimantan yg menghidupi seluruh pulau berikut ekosistem terutama manusianya, serta ditambah embel2 paru-paru dunia yg dgn indah disebut Heart of Borneo. Padahal jika dikatakan telah menjadi komitment bersama melalui kerja sama trilateral berbasis konservasi dan berkelanjutan (sustainable development), dimana relevansi berikut konsekwensinya?
"Anda pasti gak bisa tidur nyenyak lagi melihat rencana ini, serta harus mengoptimalkan forum dunia seperti Heart of Borneo. What do you say then?", tantang Heinz. Gw merinding juga sembari menerima printed out tentang berita dimaksud, dari Heinz yg juga mewakili program GTZ (German Technical Cooperation). Saat ini melalui forum HoB Indonesia, pemerintah sedang mengolah tata ruang Kawasan Strategi Nasional (KSN - PP. 26/2008) terkait penetapan kawasan HoB di area tiga Provinsi Kalimantan menuju forum tehnis BKTRN (Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional - turunan UU. 26/2007). Hasil tehnisnya merupakan salah satu rekomendasi yg akan dibawa ke forum Trilateral IV HoB di Brunei, khususnya dalam konteks Perencanaan Tata Ruang Pulau Borneo untuk 3 Negara. Kesepemahaman dan kesepakatan bersama perlu didapat dari segala pihak di pulau ini terutama dalam konteks HoB, terkait menjaga pelestariannya maupun batasan eksplorasi dan eksploitasinya. Bisa dibayangkan, pihak Indonesia tengah mengambil kebijakan untuk menjaga kelestarian hutan melalui KSN HoB termasuk menjaga sumber air bawah tanahnya. Sementara di tetangga sebelah sana malah menggunakan hutan untuk "kegunaan lain" termasuk menguras air tanah dan membendung sungainya sbg sumber pembangkit listrik. Serta ironisnya lagi, listrik yg dihasilkan dari mata air yg dilindungi di wilayah Indonesia ternyata malah dijual ke Kalimantan Barat. Ini bukan sirik atau perkara anti pembangunan, tapi makna komitment dan strategi jangka panjang. Harga kelestarian hidup akan mahal dipertaruhkan, apalagi harga sebuah jantung.
-duke-



*SARAWAK TO BUILD 12 DAMS TO MEET FUTURE POWER NEEDS*
http://thestar.com.my/news/story.asp?file=/2008/7/23/nation/21894319&sec=nation
Sarawak plans to build 12 hydroelectric dams to meet its future industrialisation needs. The move has got environmentalists up in arms, questioning the need for the dams and the planned development of the state. They also suggested that Sarawak's national park may be threatened. However, Deputy Energy, Water and Communications Minister Datuk Joseph Salang Gandum said the dams were necessary to meet energy demands.

They will be located at Ulu Air, Metjawah, Belaga, Baleh, Belepeh, Lawas, Tutoh, Limbang, Baram, Murum and Linau rivers. The plan will also see an extension to the Batang Ai dam. All these are in addition to the 2,400MW Bakun dam and will push the total generating capacity in the state to 7,000MW by 2020, an increase of more than 600% from the current capacity.
The plans were in a presentation entitled Chinese Power Plants in Malaysia – Present and Future Development in October last year at the China-Asean Power Cooperation and Development Forum in Nanning, China. Chinese companies were expected to design, build and commission the dams, the presentation said. The Murum Dam project is scheduled to begin this year with a memorandum of understanding already signed between the Sarawak Energy Board and China Three Gorges Project Corporation. It also said a detailed study on the Batang Ai extension was already under way while a feasibility study had commenced at Limbang and a pre-feasibility study had started at Baram. Currently, Sarawak's energy output is 933MW and it does not need any more energy.

However, there are plans to expand the aluminium-smelting industry in the state which will need the planned output. Furthermore, the Bakun dam's 2,400MW was originally meant for peninsular Malaysia. According to media reports, the Sarawak Government has already approved the building of an aluminium smelter by local company Press Metal Bhd.
Others which have shown interest includes China's Luneng Group, Smelter Asia Sdn Bhd, Alcon Inc, Mitsubishi Corp, BHP Billiton Ltd and Australia's Rio Tinto. Centre for Environmental Technology and Development Malaysia chairman Gurmit Singh expressed concerns over the plan. He said the proposal to build the dams and then look for energy-guzzling industries to use the energy was wrong. He questioned how the building of the dams were related to the national energy policy.

"This is also a typical example of the 'not in my backyard' mentality where a country puts its polluting industries in other countries," he said. Salang said the 12 dams were necessary as consumption was projected to increase with the development of the Sarawak Corridor of Renewable Energy. He said the dams would only be approved if they passed their environmental impact assessment. He added that he did not expect the projects to materialise any time soon although the plan was to complete all dams by 2020 (*)
[Related : 'GRENN' DAMS HASTEN RAPE OF BORNEO FORESTS]
http://www.timesonline.co.uk/tol/news/world/asia/article5908207.ece

Read more...

Berapa Jumlah Pulau Di Kalbar?

Setiap bayi yang baru dilahirkan akan diberi kepemilikan pertama, yakni nama diri (antroponim). Hal yang telah membedakannya dengan bayi lain, juga merupakan tanda waris keluarga melalui pemberian orangtuanya. Properti kedua yang melekat padanya adalah nama tempat kelahiran (toponim), sebagai identitas untuk perihal administrasi misalnya. Kedua nama dan kepemilikan inilah yang akan selalu digunakan dan tercatat mewakili individu, seperti pepatah mengatakan, manusia dapat kehilangan harta, status bahkan nyawa tetapi nama diri dan nama tempat lahirnya selalu abadi.

Tujuan penamaan yang bisa sebagai tanda kepemilikan, juga merupakan acuan melalui pendataan unsur topografi. Pengetahuan penamaan geografis ini disebut toponimi (topos–nym), yakni ilmu yang mengkaji masalah penamaan unsur topografi buatan maupun alamiah termasuk pembakuan tulisan, pengucapan (fonetik), sejarah, dan hubungan antara nama dengan sumber daya pada sebuah unsur geografis. Toponimi merupakan ilmu terapan terpadu yang melibatkan disiplin geografi, geodesi, geofisik, linguistik, antropologi, sejarah dan hukum. Selanjutnya keseluruhan kajian toponimi akan menghasilkan daftar nama geografi atau gasetir (gazetteer). Salah satu daftar gasetir adalah pulau, sebagai sumber daya wilayah yang dioptimalkan untuk pembangunan ekonomi, ekologi, sosial budaya, serta keamanan (batas kelola administratif maupun kedaulatan).

Perlu ditekankan, meski aspek toponim tidak berkaitan dengan “kepemilikan" pulau atau hak pengelolaan (sovereign right) maupun hak kedaulatan (sovereignty), namun data toponim menjadi rekomendasi kebijakan pengelolaan pesisir dan pulau. Adapun definisi pulau harus mengacu ketentuan pasal 121 Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982, yakni: “Pulau adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi air, dan ada di atas permukaan air saat pasang". Sementara definisi pulau-pulau kecil adalah: “Kumpulan pulau dengan luas kurang dari 2.000 Km2 atau lebar kurang dari 10 Km beserta kesatuan ekosistem di sekitarnya yang terpisah dari pulau induk” menurut Perda No. 4 / 2009 tentang PWP3K Kalbar, merujuk UU 27 / 2007. Serta definisi pulau kecil terluar adalah: “Pulau dengan luas kurang atau sama dengan 2000 km2 yang memiliki titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional”, menurut Perpres 78 / 2005. Sekaligus penegasan bahwa di wilayah Kalbar tidak terdapat pulau terluar (outermost island).

Selanjutnya merujuk standard internasional juga pedoman survei toponim kepulauan di Indonesia, ada 4 kaidah kegiatan menurut United Nations Conference on the Standardization of Geographical Names (UNCSGN) No.4 Tahun 1967. Pertama, nama pulau hanya dapat diberikan oleh penduduk setempat, minimal 3 orang yang diakui memahami sejarah pulau tersebut. Kedua, catatan posisi geografis, luasan, dan wilayah administrasi pulau. Ketiga, ucapan lokal (fonetik) nama pulau direkam (audio recording) dan penulisan nama dikonsultasikan dengan masyarakat setempat. Dan keempat, hasil survei secara keseluruhan disampaikan kepada pemerintah dan masyarakat setempat untuk mendapatkan persetujuan. Kaidah ini telah mensyaratkan kegiatan berupa survei lapangan (field study) sekaligus melibatkan penduduk setempat dan menghargai kearifan lokal.
Kegiatan survei toponim nasional dimulai saat Kementerian Kelautan dan Perikanan menerbitkan Panduan Survei Toponim Pulau-Pulau di Indonesia pada hari Nusantara 13 Desember 2003 sekaligus amanat UU 32 / 2004. Pelaksanaannya dilakukan oleh setiap pemerintah daerah dengan bimbingan teknis dari pusat meliputi Kemendagri, KKP, Bakosurtanal, Dishidros TNI-AL, dan Pusat Geologi Kelautan, sebagai tim verifikasi menurut Perpres 112 / 2006. Melalui Rapat Pembinaan dan Pembakuan Nama Pulau di Wilayah Provinsi Kalimantan Barat pada 28 Juni 2008 di Pontianak, telah ditandatangani Berita Acara Verifikasi Penamaan Pulau. Acara dipimpin oleh Asisten Pemerintahan dan Hukum Setda Prov. Kalbar serta dihadiri unsur Pemprov dan Kabupaten / Kota berikut para Camat dan Kepala Desa yang memiliki pulau di wilayahnya, serta Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi.

Berita acara verifikasi toponim wilayah Kalbar telah mengidentifikasi dan membakukan nama sejumlah 217 pulau, dengan catatan permasalahan administrasi yang harus diselesaikan di tingkat provinsi maupun pusat. Yakni Pemerintah Provinsi Kalbar perlu mengklarifikasi keberadaan 5 pulau antara Kab. Kubu Raya dan Kab. Kayong Utara, sementara Pemerintah Pusat siap mengklarifikasi 2 pulau antara Prov. Kalbar dengan Prov. Kepulauan Riau serta 3 pulau antara Prov. Kalbar dengan Prov. Kalteng. Maka melalui data utama survei toponim pulau, dapat berperan untuk: (1) Tertib administrasi wilayah; (2) Acuan referensi serta nara sumber bagi media massa; (3) Data rencana penataan ruang; (4) Tindakan mitigasi.

Adapun rekapitulasi jumlah pulau di Kalbar, terbagi dua kelompok wilayah. Yakni pada tujuh kabupaten / kota pesisir: Sambas (6), Bengkayang (12), Singkawang (1), Pontianak (9), Kubu Raya (39), Kayong Utara (97), dan Ketapang (41), berjumlah 205 pulau. Selanjutnya pulau kriteria pedalaman (di sungai, danau): Kota Pontianak (1) dan Kabupaten Sanggau (6), berjumlah 7 pulau. Agak mengherankan bahwa Kabupaten Kapuas Hulu tidak terdapat, setidaknya, keberadaan pulau Melayu di danau Sentarum yang harus dikonfirmasi kepada pejabat Kasubdit Toponimi dan Pemetaan Kemendagri maupun Kasubdit Identifikasi Potensi Pulau-pulau Kecil KKP Pusat melalui Biro Pemerintahan Provinsi Kalimantan Barat.

Selain demi identifikasi maupun kepentingan program pembangunan daerah, pihak kabupaten / kota dapat melakukan koordinasi dengan Pemprov Kalbar untuk klarifikasi. Karena data survey toponim pulau, secara strategis dapat digunakan untuk: (1) Potensi kelola sebuah pulau; (2) Jaringan pemasaran hasil kelautan maupun budidaya perikanan; (3) Antisipasi gejolak sosial budaya; (4) Antisipasi kriminal di perairan dan pulau; (5) Pola pemberdayaan masyarakat pesisir maupun (pulau) pedalaman; (6) Pengelolaan pulau di suatu kawasan tertentu.(*)

[Dimuat di Pontianak Post, Rabu, 15 Juli 2009]

Read more...

Belajar Dari Kemenangan Spanyol

Posted in
Pesta terbesar sepak bola sejagad telah usai. Peristiwa empat tahunan ini turut dinikmati secara antusias oleh sebagian besar penduduk Indonesia selama sebulan penuh. Makna apa saja yang kemudian bisa dipetik terutama bagi khalayak Kalimantan Barat?

Dengan status sang juara sebagai tim yang kalah di laga perdana untuk kemudian memukul tim yang tak terkalahkan di laga puncak, Spanyol telah menggapai segala prestasi. Dapat tercermin dari keberhasilan yang direkam selama dua tahun terakhir. Kampiun ajang Eropah 2008 tanpa terkalahkan, bermateri klub terbaik dan juara dunia 2009 ditambah lima gelar lainnya dalam semusim kompetisi oleh Barcelona. Puncaknya adalah tim nasional terbaik dari seluruh perwakilan 32 negara di Afrika 2010.

Sekadar meninjau situasi di Spanyol, penghargaan puncak ini setidaknya dapat meredam gejolak yang di terjadi pada pekan terakhir Juni 2010. Sabtu sebelum final digelar, terjadi demonstrasi besar di Timur Laut Spanyol oleh jutaan masyarakat sembari mengibarkan bendera Catalan bertuliskan "Kami bukan Spanyol, kami akan menentukan nasib sendiri". Tujuannya jelas, menuntut persamaan hak bahkan kemerdekaan berupa status pemisahan diri dari Madrid. Drama miris menjelang laga akhir dan menentukan bagi pasukan La Furia Roja untuk mendaki puncak pertamanya.
Padahal lihatlah, persahabatan Xavi Hernandez dengan Iker Casillas bukan basa basi. Kekompakan mereka amat lebur di lapangan atas nama kolektivitas, skenario yang lebih besar ketimbang status individual. Untuk kadar kebintangan, para matador adalah master yang menguasai posisinya dalam taraf mega star. Namun berbeda dengan ketergantungan Portugal terhadap Ronaldo atau peran Messi bagi Argentina, justru Spanyol sanggup lebur dan jitu memperagakan keindahan secara kelompok. Telah terbukti, tim yang hanya mengandalkan kebintangan justru terkubur di turnamen ini. Namun dengan satu bendera di dada, Spanyol mengusung persaudaraan La Furia Roja. Memang terdapat mayoritas Catalans terutama delapan pemain Barcelona, tapi jangan lupakan Fernando Torres dan santa Casillas sebagai Castilans, Sergio Ramos dari Andalusia, Xabi Alonzo, mewakili Basque, David Villa dari Asturian, David Silva dan Pedro si anak pantai Canary. Bahkan Iniesta sang idola Catalans sesungguhnya kelahiran Albacete yang berakar pada tradisi Castilan.

Kompetisi liga Spanyol begitu ditaburi bakat dan bintang, namun terpecah pada tiap klub termasuk rivalitas Madridista dan Catalans. Untuk level negara, selama ini predikat timnas Spanyol amat lekat dengan status 'nyaris juara' bahkan hanya penggembira turnamen. Kejayaan masa lalu lebih disebabkan faktor non tehnis, seperti prestasi medali perak sepak bola di Belgia 1920 akibat mogoknya Chekoslovakia. Status juara Eropah 1964 lebih karena faktor dominan sebagai tuan rumah di Santiago Bernabue. Tim Spanyol dikenal bagus pada babak awal turnamen namun hanya untuk kalah di babak berikutnya. Maka berterimakasihlah kepada Luis Aragones yang mulai menyusun strategi sejak 2004. Ia tidak perlu repot dengan masalah talenta berikut mayoritas pemain segar di bawah usia 25 tahun.
Kendala utama yang harus dibereskan adalah ego kesukuan, akar rivalitas peninggalan rezim Castilla terdahulu yang membekas bagi masyarakat Catalan, Basque dan Galicia. Pembuktian Aragones berbuah pada piala Eropah 2008, dengan kontroversi besar didepaknya Raul, sang pangeran Madrid. Generasi keemasan telah lahir, dimana sejak tahun 2006 hingga kini 2010 mereka hanya pernah kalah tiga kali. Beberapa rekor sepak bola mereka perbaiki bahkan diciptakan. Para matador memperagakan makna kolektif sekaligus indah berujung kemenangan yang disebut Taka Tiki. Timnas Belanda merasa paham bagaimana cara menghadapi Spanyol, butuh lebih dari sekadar permainan cantik bahkan membuang karakter Total Football. Merekapun menggunakan delapan kartu kuning dan satu kartu merah, namun solidaritas Spanyol sulit ditundukkan apalagi dengan kekerasan.

Sepak bola adalah pembawa pesan dan berlaku universal. Makna kemenangan Spanyol telah menjadi inspirasi bagi kompleksitas masalah kesukuan yang sedang mereka hadapi. Faktor persatuan dan kebersamaan merupakan komponen keberhasilan yang menyeluruh, relevan dalam konteks kemajemukan di Indonesia. Perbedaan adalah anugerah, justru disitulah arti keragaman yang bukan tunggal. Kalimantan Barat dapat meminjam keberhasilan Spanyol untuk mengutamakan kolektivitas demi satu tujuan secara bersama. Kalimantan Barat yang terintegrasi dan komprehensif dapat tampil sebagai pemenang serta berkelanjutan, semoga. (*)

[Dimuat di Pontianak Post, Jumat 16 Juli 2010]

Read more...